Minggu, 13 Desember 2015

Aku Tak Menulis Puisi Malam Ini

Aku tidak menulis puisi malam ini. Hanya saja, pikiranku, entah mengapa dipenuhi banyak engkau. Pikiranku seperti lemari yang menyimpan berlembar-lembar pakaian yang sama. Dan aku tak menyangsikan itu. Aku memiliki seorang kenalan, seorang pria, yang sangat suka mengenakan baju dengan motif yang sama. Bukan. Dia bukan mengenakan baju yang sama, melainkan dia memiliki banyak sekali baju dengan motif serupa. Dan dia, dengan bangga tetap mendongak, tersenyum menantang hari. Nanti, ada saatnya akan kukenalkan padamu. 

Aku tidak menulis puisi bukan karena memikirkanmu, melainkan ada kegusaran ketika aku mencoba untuk menanggalkanmu dari pikiran. Itu berarti, aku menikmatinya. Aku menikmati setiap gambaran buram yang coba dijelaskan pikiranku. Aku pernah menonton sebuah film barat, yang telah aku lupakan judulnya. Seorang pria yang hidupnya terlunta-lunta oleh aktifitas-aktifitas kesehariannya, yang (mengutip sebuah puisi) ditunggang-pacunya sendiri. Dia, rupanya di tengah cerita mengidolakan seorang fotografer yang terkenal. Suatu hari mereka bertemu. Namun dia tidak sadar bahwa orang tua itu adalah si fotografer. Ah, baiklah, aku melupakan bagian selanjutnya. 

Aku tidak menulis puisi malam ini, oleh karena itu aku menulis ini. Aku menulis ini, karena sedang tidak berbahagia. Aku tidak bahagia, karena sungguh, aku jenuh oleh puisi-puisi yang kurangkai tentangmu, tetapi tak pernah untukmu. 

Aku tidak menulis puisi malam ini karena aku sedang belajar berkata-kata, berlisan lidah. Aku ingin membacakanmu sebuah puisi, atau mungkin mengajakmu kencan dan makan siang. 

Kamis, 10 Desember 2015

Telepon Genggam dan Sebuah Jawaban

Malam kemarin, aku memutuskan keluar sebentar dan mencari tempat untuk duduk, memesan kopi, merokok--mungkin juga akan menulis puisi. Kamis memang tak pernah terkesan baik untukku. Ia selalu tampil dengan kebiasaan-kebiasaan yang tidak kusukai. Seperti kamis kemarin. Aku bangun siang sekali. Jam 13.00. Sebagai lelaki, tentu, bangun siang adalah sebuah kegagalan mencapai hidup. Atau setidaknya memicu pandangan orang-orang ke arah sana. Aku mandi, mengenakan pakaian dan mengecek telepon genggam. Tak ada apa-apa, selain pemberitahuan masa berlaku kartu sim akan segera habis. 

***

Aku berhenti di sebuah kafe di pinggir jalan. Beberapa kendaraan telah terparkir rapi. Kumasuki pintu, lalu mencari tempat paling pojok, tempat di mana aku tidak akan diperhatikan, namun bisa melihat seisi ruang ini. 

"Meja nomor 21 ya, mas," ucap seorang perempuan dengan setelan serba hitam, berkerudung putih itu. Ia wanita yang cantik, sebenarnya, jika lebih banyak tersenyum dan menyembulkan gigi gingsulnya.

Di meja itu aku membuka tas dan mengeluarkan telepon genggam, sebuah buku puisi, dan earphone, menyalakan lagu, lalu mulai berpura-pura membaca dalam hati. Aku selalu seperti itu. Mengeluarkan buku, namun hanya semata kamuflase. Kau tahu, sendirian dan tampak bingung di muka umum sungguh bukanlah hal yang baik. Mataku merayapi dinding, meja-meja lain, panggung, kasir dan pintu keluar-masuk. Sesekali juga mengintai langkah yang mengarah toilet. 

Seseorang mendekatiku, dengan nampan dan secangkir kopi di atasnya. Namun bukan perempuan yang tadi. Yang satu ini, tidak semanis ia, namun lebih ramah dan murah senyum. 

"Bawa saja gulanya, aku tidak menggunakannya," 
"Mas suka kopi pahit?"
"Tentu tidak,"
"Loh, terus?"
"Aku takut, jika kopi ini manis, nanti akan cepat habis,"

Ia pun tertawa, dan aku bingung. Apakah saat ini, kejujuran adalah juga lelucon? 

Aku kembali memegang buku, dan menegangkan otot mataku. Ke kiri, ke kanan. Sunyi. Meja dipenuhi pesanan dan cahaya kilat. Aku melihat mereka, orang-orang itu berpose, lalu sibuk mengabadikannya ke sebuah foto, tanpa sadar telah mematikan keadaan. Bukankah itu menyedihkan? Kau tahu, aku bukanlah seseorang yang lihai berkata-kata. Atau lebih tepatnya, tak gampang untukku melisankan kata-kata, apalagi membuatnya menjadi sebuah cerita. Itulah yang membuatku urung menemuimu. Tentu jika nantinya kita berkencan, kau juga akan seperti itu: merunyamkan sunyi, lalu mematikan aku. 

Maka biarlah. Biarkan aku tetap di sini. Melihatmu dari jauh, dan membayangkan pelbagai keadaan-kegiatan yang tak akan pernah kita jalani itu. Biarkan aku di sini, seperti aku membiarkan hatiku patah, hanya karena tak ingin dikalahkan oleh telepon genggammu itu.

Rabu, 09 Desember 2015

Beberapa Puisi di Indopos, 5 Desember 2015

Tukang Tato

Sambil kupahatkan daun-daun ke kulitmu, engkau berteriak
laik guntur mengulur kilat, jatuh ke ranah basah
yang kuning dan pernah kering

Silau oleh kilat itu, mataku mengedip lebih cepat
dari biasanya. Namun tetap, yang jarang terjadi
akan mati bila bersihadap dengan wajahmu
nan kugandrungi

Engkau membuka baju, menyerahkan sisanya untuk
kujejaki. Membelit tinta panas di kulit hingga burit
hingga engkau menjerit
merasa sakit

Jantungku bergidik seketika merasa pekik yang
kau lontar terlalu berderu membungkam ricik
gerimis, mencuri
hangat tubuhmu

Pekanbaru, 2014.


Mendung

Wajah zaman lindap. Dalam kelambu matahari langit mendengkur
di matamu yang menjatuhkan putik-putik
ada yang bersemayam. Seperti gelap. Atau mungkin rahasia
tentang asap. Membentang di kelapangan kota
hutan terbakar. Angin pengap berkelindan saat
penat berkarat di tubuh kita

Jika di atas langit masih ada langit, maka doa-doa tak ‘kan pernah sampai
dan dengan tujuan tak menentu, adakah yang menangkapnya?
Sebab, musim yang kelabu ini kerap mengusik tidurku
yang tak juga menambat apa pun.

Langit di sini, selalu hanya mendung
namun tak mampu menghujan
langit di sini, barangkali hanya bisa bersedih
tersebab tak pernah mampu menangis

Daun-daun gugur jatuh menyentuh tanah
berbincang mengenai kematian dan warna tubuhnya 
nyaris membakar mata yang memandang dosa 
sebagai matang doa-doa

Tapi doa, ke manakah akan dihaturkan 
jika setiap hari
tuhan semakin ramai di sini?

Pasa Ibuah, 2015


Semula Hujan

Jalanan berdebar meregang kisut jantungnya. Hujan baru mekar
Putik-putiknya menyasar ke sulur dadamu yang nganga
penuh suka duka

Aku dengar, jam berdetak pada detik ke 21
tapi tak ada jam di sini, selain arloji yang
mengunyah segala bahasa

“Mungkin itu suara jantungku, yang baru
kau pahami maknanya,”

Kafe-kafe berkaki seribu melipat jarak
tapi alangkah jauhnya kita, melepit
lengan sembari menarikan jari 
di layar gawai, yang piawai 
menyembunyikan tikai

langit-langit temaram, dan hatiku yang rawan
tiba-tiba saja disesaki alunan musik yang melantun
tanpa ampun, menggetarkan ruangan
yang lebih dulu merasa resah dari siapa pun

Sudah redakah hujan di matamu, atau bibirmu 
yang mengatup telah menjelmakan batang agam, mengalirkan
kesedihanku, mengairkan parit-parit, got, tanah, dan vas bunga
atau ia malah beringsut, memasuki sumur-sumur, menapaki bilur
di tubuh gamangku.

Tak lama hujan reda, aku menemukan bayanganmu berlari
meninggalkan kafe.

Payakumbuh, 2015

Minggu, 20 September 2015

Beberapa Puisi, di Riau Pos 20 September 2015

Gerimis

di antara gigil yang ganjil dan malam yang demam
awan lebam itu melahirkan isak kecil yang meriak
tumpah sebagai ludah yang mengucapkan banyak kecupan

yang rawan, barangkali kecemasan yang tak takluk jua
yang bersua tak berpeluk, meruncingkan jarum-jarum es terkutuk

meski bagimu gerimis adalah air mata yang mengaji ketika
malam-malam yang diam itu merendam dendam langit
yang beringas pada angka duabelas, gerimis adalah bukti
tuhan tak pernah tidur
ia hadir pada tiap helaan yang mengendur

terusik oleh yang tersuruk, kita melompati nasib
seakan paling tahu hal-ihwal gaib
padahal telah lama iman yang membusung di dada limbung dan raib

tapi apakah aku harus menyerah sekiranya takdir menggiring galau
menghentak ke dadaku yang balau
amsal pisau yang mengiris tipis kulit limau?

tentu tidak, aku tak perlu mengambil pusing sememangnya waktu
menjelma angkara—merunggas hajat

hanya sampai pada hatiku, riwayat tubuhmu yang tersirat di ribaanku mulai menyebat
serupa tumpahan gerimis nan melarat di punggungku yang amis,
yang tak kunjung menyurat sebagai ayat-ayat yang mungkin bisa kaubaca ketika menangis

lalu bacalah kembali ketika berbahagia. sebab hanya dengan itu aku bisa
menyentuhmu, pula mencecap perasan perasaan pada bibirmu yang kelu
dan misalkan setelahnya langit tak mewartakan apa-apa, maka biarkan matamu
yang muskil kuselami menakwilkan kematianku

Pekanbaru, 2015

Ziarah
Kepada Nurdiansyah Oemar

di marpoyan, sunyi meruapkan udara
yang muskil dihirup pohon-pohon bedaru
bangkai lokomotif rel-rel berkarat
mengerat masa lampau di ujung igau
dengan pisau asahan yang berkilau
yang kalau diacungkan membikin risau

“aku pernah membaca cerita orang sini,” katanya
“aku tak pernah mendengar angin bernyanyi,” kataku

tanah yang kemerahan pun dicecapnya yang jatuh cinta pada cermin
dalam diam kami menalikan ucapan dari sulur pikiran yang tersulut

tanah yang kemerahan, bekas luka itu seolah membaur
ketika gerimis baru reda, dan dipungut dengan tangannya
yang dingin, yang dipenuhi jejak masa silam

“tetapi, hari itu, entah hari apa
september yang lumer, agustus yang hangus
menghadiahkan kado berpita putih
kepada indonesia yang merdeka!
sepuluh ribu atau lebih
sampah itu dikubur dalam semak-semak
yang kerap terkesiap setiap jangkrik berkerik”

lalu kata-kata yang semula merdeka
seperti terkubur di liang bibir

Pekanbaru, 2015

Rabas

setelah hujan reda dan mendung menyingkir
apa yang hendak kau lakukan, jika genangan air
di jalan berliku belum jua mahir
menakwil masa lalu

daun-daun nan basah, berkulumun halimun di tubuhnya
angin berdesir menyejukkan tengkuk kanak-kanak
yang berkecipak di genangan air, mengalir
hingga ke inti benakmu

kanal-kanal membandang. tepat di belakangmu aku
merasa sedang membendung segala yang tak tertampung
gedung-gedung, hutan-hutan terbakar dan yang tak pernah
mampu dikandung rahim matamu

renyai baru usai 7 menit lalu. namun langit tetap sirah
dedaunan yang gugur seolah penanda bahwa, kehilangan
semestinya harus dirayakan

dan aku yang masih belum mahfum, mengapa hingga saat ini
kau masih memalingkan pandang pada dangkal kebimbangan

Pekanbaru, 2015

Ronda
Kepada Patra Hafiz

mari kuantar kau berkeliling, sebelum pulang
dan atau langit menjadi lebih pengap. aku ingin
kau tahu, bahwa dini hari yang asin adalah
cermin bagi kita yang terus dilumat kemunafikan

lalu biarkan dingin itu menggigit, lesap, ke pangkal
terdangkal—hingga ke bagian yang tak tersentuh
agar bisa kau rasakan, nyeri dan ngilu yang ambigu
meliarkan lidahnya kembali

seperti tubuh si jangkung pada tiap-tiap gang dan simpang
terkungkung oleh bunyi sunyi dan goresan parang

lolongan anjing, daun-daun dirontokkan angin
lampu-lampu yang tergantung berkelap-kelip
dengan langkah goyah kau ikuti aku melompati
genangan air, kenangan yang tercermin dari sana
memunggah hasrat yang tercemar dari sukma

“lihatlah, taring malam yang terbenam mulai meriap
mari tanggalkan jubah kebencian
dan tinggalkan dunia yang telanjang!”

derak kayu menuntut. aku menuntunmu memasuki
gerbang subuh yang menganga, penuh oleh doa

telah kusiapkan peti mati bagi hatimu yang pucat
jauh sebelum aku menangkap garis wajahmu
kesangsian yang menyembul kala gerimis sukar dijinakkan

Pekanbaru, 2015


Bunga

hingga kini, bunga-bunga yang tertata rapi
pada rak itu tak jua mengerti:
masa silam, atau masa depan yang membawanya pergi?

Pekanbaru, 2015


Doa

aku ingin tuli saja, tuhan
mendengar hanya membikin
dadaku giat membatin
bibirku mencibir rutin

tuhan, dengarlah ini doa
atau kita bernasib sama?

Pekanbaru, 2015



Selasa, 19 Mei 2015

Beberapa Puisi di Riau Pos, 17 Mei 2015

Bermain Gitar

/1/
sebelum benar-benar terlarut oleh malam
ia pantik api, membakar berkas-berkas
yang tertata rapi di kehidupan lampau.

“sunyi ini, bercangkir-cangkir kopi
serta derau gerimis yang meracau!”

tidak ada penyesalan, katanya tak lama
menjinjing gitar dan  meningkap jendela
berembun. desau angin seolah menangkap
hangat tubuhnya, membiarkan sekujurnya
menggogoh, seumpama kamar itu.

/2/
gitar tetap dimainkan, tapi ia masih bingung
adakah chord yang mampu melengkapi
kekalutan hatinya? melengkapi malam yang
terlanjur basah,  membuat tubuhnya bersuhu
rendah, dan mengidap penyakit parah.

/3/
matanya serupa jendela malam ini. lembab dan
begitu rabun. ia seperti melihat, seorang wanita
dengan lekuk tubuh dan wajah yang sangat ia
kenali. jika ia sendiri, apa semata halusinasi?

/4/
pada petikan pertama, nada begitu sumbang. di
kepalanya telah hilang sebercak ingatan. ia coba
mengingat, masa silam paling manis, kisah yang
membuatnya pangling, hatinya luruh teriris.

seorang gadis pernah mengesahkan:
lagu-lagu romantis semata pemanis bagi kelengangan.
kenalilah dirimu dari senandung paling mendung.
kenanilah, mendung itu, langit-langit matamu dan yang menadah hujan tak berkesudahan.
hujan itu penuh rahasia, di antara riciknya, adakah yang kau tangkap?

sememang ia langit, musim akan terus basah
di sebalik pintu orang-orang akan berkeluh-kesah
tetapi bagi yang lemah syahwatnya akan berlari
menari-nari dalam irama hujan yang acak.

/5/
pada petikan kedua ia seperti menemui kembali
jati dirinya. berdenting nyaring senar gitar, semakin
nanar matanya berbinar. tetapi ia tetap ragu, seakan
masih ada yang tertinggal di masa lalu, dan sangat
ingin ia bawa.

malam semakin larut. jika kali ini listrik mati, tentulah
ia takut. akan ada banyak kenangan yang menerang-
temarang, yang bakal menguji syahwatnya, sekali lagi.

/6/
ia membayangkan, bagaimana perasaan kura-kura
 terjebak di kabin sampan, atau katak yang terkurung
dalam tempurung. ia merasa—dirinya—seumpama
 burung dalam jeruji besi, namun tidak merasa dilindungi.

/7/
di petikan selanjutnya ia mulai terbawa suasana. ada
yang kembali hidup dalam dadanya. rasa itu, kian
menumbuh dan bertambah seiring petikan-petikan
yang diguratkan.

/8/
kini, setiap kali bersedih, ia ambil gitar dan mengulangi kesakitan itu.

Pekanbaru, 2014.



Amnesia

Adalah duka teramat panjang ketika kau terjaga
sembari meraba wajah sendiri. Di mana
letak luka kering, kita coba tanggalkan
tukaknya. Terjejak jua kulit,
terkelupak rasa sakit

Malam legam. Listrik padam seolah menyalakan
kenangan, tentang bau obat nyamuk,
serta dengungnya yang
sesekali kita tepuk

Ingatkah engkau, di Anjungan, ricik gerimis
yang kita hitung, puisi-puisi dini nan
kontan keluar dari bibirku, belum
jua mampu menggenapi identitas
yang hilang, dari kota ini!

Pekanbaru, 2014.



Menunggu Pagi

Sebentar lagi pagi. Aku tahu kau masih
terlelap dan dipenuhi mimpi. Di sini,
malam seolah mengancam, dengan
jarum sunyi; merajut maut

Kau tahu, tadi malam, langit meminjam
cahayamu. Berkali-kali aku mengusap mata
kusaksikan, pepohonan seumpama gaun
yang terkebas angin

Seorang muda melintas. Tangannya gemetar
tubuhnya canggung. Raut wajahnya seolah
berkisah, ada langit lain yang tengah bersedih
kemudian kosong, hingga pagi tiba,
dengan ingatan baru.

Pekanbaru, 2014.


Dare Devil

Dari belakang muncul cahaya, memanjang
dan menantang matahari pukul sebelas. Membesar
dan melebar. Kaukah itu, Buldozer? Maka
menyautlah dengan lantang, sebelum tongkat
tirusku menjadi senjata yang bakal membelah senja.

Aku datang dari lobang hitam. Barangkali
aku dewa atau polisi negara. Sementara
sekumpulan kau semata pemuda renta
penunggu masa tua.
Rajawali dan elang adalah muridku. Mataku
tembus pandang. Aku bisa melihatmu telanjang
hingga tulang. Tapi sungguh, tak ingin aku angkuh
tersebab aku bukan pembunuh.

Dengan sisa nafas yang berdengus aku melompat
dan meraba ke segala tempat. Berjalan atau tiarap
bagiku sama saja—gelap.

Kausebut aku pahlawan debut tersebab membabat
para penjahat. Panggil aku sesukamu
agar denyar dalam dadamu tak menciut
biar nadimu tak henti-henti berdenyut.
Lalu sekumpulan kau yang lain menyumpahku
dengan pahit. Memata-mataiku sehingga sulit
bagiku mengenakan identitas palsu. Kemudian
kalian lupa, betapa akulah titisan Musa. Berkelit
dan meninggi
menembus langit.

Baiklah, pada akhirnya terlupalah aku
ketika jutaan kalian turut serta menjadi
pahlawan dengan beragam pakaian
membubuhkan tongkat ke ufuk pagi
yang kautakwil
umpama mati.

Pekanbaru, 2014.

Selasa, 05 Mei 2015

Kematian Zombigaret

Lomba Menulis Cerita Berhadiah Liburan ke Bali


i
        Aku tak menyangka hasilnya akan sebegini parah. Tak kukira, hanya dengan mengisap ‘barang’ yang tak asing bagi orang-orang itu, aku akan bertemu malaikat. Ya, aku bertemu malaikat pada setiap kali tarikannya. Sosoknya yang putih tak jelas itu, seakan ingin merenggut nyawaku.

ii
        Aku memang jarang keluar dari sepetak kamar ini. Keluar pun, paling hanya membeli keperluan perbekalan: makan, minum, dan ya, sebungkus rokok. Aku penulis. Aku menulis banyak hal, dan dengan mengisap rokok aku mengepulkan semua kenangan untuk dituntaskan.

iii
        “Pola hidupmu kacau-balau. Hidup adalah juga pilihan. Jika ingin terus meregang nyawa, maka lebih baik kau tancapkan saja pisau ke dada!” Malaikat itu menyapa. Aku sering bertemu malaikat. Sudah kukatakan, ia selalu menampakkan diri pada setiap tarikan dan hembusan asap yang kuguratkan.

iv
         Tapi malaikat sangat terlambat. Aku telah dulu berpenyakitan. Tenggorokanku hancur. Paru-paruku bolong. Mulutku terbakar. Aku hidup yang mati. Aku bukti nyata dari awal mula kehancuran manusia.

v
        Aku menulis karena telah dibungkam. Dibungkam penderitaan. Aku telah dikutuk oleh bahan pabrikan itu. Berbatang-batang rokok yang nantinya akan menjelma nisan di atas kuburanku. Kini, aku mencanduinya. Kini akulah penderitaan itu!

vi
        “Jadi, kau betah dengan ini semua?” Malaikat itu tersenyum kecut. Tangguh juga ia, setelah sekian lama kuabaikan.
        “Kau. Hanya kau yang membuatku tak betah.”
      “Aku di sini untuk menolongmu. Tak kuasa aku menatapmu! Tubuh tirusmu, suara serakmu, batuk-batuk itu, adakah kau merasa nyaman dengan itu?”
        Kesal. Aku pun beranjak dari ranjang, membukakan pintu agar ia keluar.

vii
        “Jadi, Zombi itu benar-benar ada?”
        “Ada! Ia tinggal di kontrakan nomor 11!”
        “Hah?! Pengisi rumah kecil yang tak terurus itu? Apa betul ia Zombi?!”
        “Lebih parah! Bukan sekadar Zombi! Yang ini Zombi Garet!”

viii
        Orang-orang mulai gelisah. Mereka mulai takut melihatku, berpapasan denganku, dan segala kegiatan yang mendekatkanku dengan mereka. Aku dimusuhi. Rumahku dilempari. Aku pernah mendapat surat berisi: “Dunia  hanya untuk orang bernyawa, akhirat untuk orang mati. Kau, yang tak jelas keadaannya lebih baik bikin dunia sendiri!”
        Aku tak berhak hidup, kata mereka. Padahal malaikat selalu menyerukan satu jalan yang lurus padaku.
ix
         Akhir-akhir ini malaikat sudah jarang menemuiku. Aku tak tahu alasannya, mungkin ia kecewa dan pasrah lalu memilih bergabung dengan orang-orang yang menentangku. Tapi tak apa. Aku telah terbiasa kehilangan. Apalagi ia cuma malaikat tak jelas yang kerap menggangguku.

x
        “Kabarnya Zombi Garet di kontrakan nomor 11 sudah mati ya, Bu?”
        Wah, beneran tuh? Bagus deh, saya kira makhluk seperti dia akan hidup abadi. Hahaha..”
        “Iya, Bu. Bahkan Polisi sudah menjadikan rumah itu sebagai TKP. Menyelidiki modus kejadiannya!”
        Halah, paling juga bunuh diri! Ngapain dipikirin!
xi
        Aku akan mati. Kurasakan asap mulai merunggas kehidupanku. Aku serupa langit yang dipenuhi polusi. Kurasakan, maut itu, mulai memilin dadaku. Tak jarang aku terbatuk dan mengeluarkan darah. Tak jarang dadaku sesak dan sulit bernafas. Aku takut. Aku takut jika nantinya malaikat akan kehilanganku, dan ia takkan lagi menemui seseorang yang pantas dinasihati sepertiku.       

xii
        Selasa, 6 Mei 2015Malaikatku, adakah kau temukan catatan ini? Aku merindukanmu. Ternyata, rindu sangat menyakitkan, ya. Semoga kau tak merasa kehilangan atas ini. Aku tak pernah mati. Aku hanya dilahirkan kembali ke dunia selanjutnya, meski dengan cara yang tak kau sukai. Maafkan aku, di ambang kematianku saat ini, aku baru menyadari kau mencintaiku. Aku juga baru sadar rasa sebuah kehilangan.  Apakah kehilangan termasuk rasa cinta? Semoga kita bertemu di lain waktu.

***


Kamis, 30 April 2015

Siksa Kubur



 
“Aku yakin ada yang mendorongku!”

“Tapi ‘kan waktu itu kau tengah sendiri. Jujur sajalah, sebelum cambuk ini kulecutkan lagi padamu!”

“Ah, tahu dari mana kalian, bahkan saat itu kalian pun tak ada di sana!”

“Mana ada maling yang mau ngaku!”

Lekatlah cambuk itu ke kulitku berulangkali, secara bergantian, kedua malaikat itu seperti meluapkan nafsunya yang selalu terpendam selama ini. Padahal aku tak berbohong bahwa ada yang mendorongku ketika itu. Walau orang-orang menyangka aku bunuh diri karena hampir gila, menyangka aku stress akibat terus-terusan merevisi skripsi yang tak kunjung diterima oleh dua orang dosen pembimbing yang lebih mirip setan itu. Tapi, aku yang menuntut ilmu di salah satu universitas islam tak pula mungkin berani bunuh diri setelah tahu apa-apa saja ganjaran yang diberikan untuk sesuatu yang bodoh dan mengerikan itu. Tapi, kedua malaikat yang tak jelas bentuk wajahnya itu, tak jua percaya dengan apa yang kukatakan. Apakah peradilan di hari penghakiman ini tak ada bedanya dengan yang ada di dunia? Seenaknya main hakim sendiri, tanpa tahu sumber masalah seperti apa dan bagaimana. Ya, walau mereka malaikat yang kabar burungnya sangat taat kepada Tuhan, tapi tetap saja, mereka tak lebih dari manusia biasa, main hakim sendiri, seenaknya melecut tubuhku yang dikafani tanpa bukti.

Aku berteriak sangat kencang setiap kali lecutan-lecutan itu lengket di tubuhku. Aku tak tahu, apakah makam sebelah mendengar, atau ia jua mendapati siksaan yang sama. Atau orang-orang yang berjalan di jalanan dekat bergidik bulu kuduknya dan berlari secepat kilat. Yang kutahu hanya tubuhku mulai merekah dan bersimbah darah, lalu kembali seperti semula dan kembali memerah hingga mereka mendapatkan jawaban yang mereka inginkan.

“Mengaku sajalah kau, agar tak kami buat lebih menderita!” ucap Munkar gahar. Di sisinya Nankir terbahak tersedak-sedak.

“Aku tak akan mengakui apa yang tidak kuperbuat. Siksalah sampai aku mati berkali-kali!”

“Pekerjaan kami tak cuma mengurusmu, tolonglah, berikan pengakuan sebelum Tuhan memanggil kami kembali.”

Aku terbahak mendengarnya. Tak kusangka, bahkan pekerjaan yang diemban oleh malaikat pun memiliki tenggat waktu. Tapi sungguh, aku tak berbohong hal-ihwal musabab kematianku. Aku tak akan mengambil jalan bunuh diri jika hanya karena terus merevisi skripsiku berulangkali. Terlebih, keyakinanku akan dua orang dosen yang ‘kucintai sampai mati’ itu pastilah bosan jika harus berhadapan denganku setidaknya sekali dalam sebulan.
***
Orang-orang mengenalku sebagai aktivis aktif jalanan yang telah mahfum dalam demo-demo yang tak jarang berakhir anarki. Ditambah lagi tempat singgahku di kota ini adalah perumahan kontrakan bagi para mahasiswa-mahasiswa di kampus. Tak jarang aku dan organisasi berkumpul di kontrakan untuk membahas hal-hal yang perlu dibilas, kadang juga merayakan keberhasilan atas demo-demo kami yang berhasil menjatuhkan tikus-tikus berdasi keparat itu. Bahkan terkadang ada yang dari mereka memilih menginap untuk berdiskusi panjang hingga pagi menjelang. Mereka tentu tahu, seseorang dengan niat dan tekad kuat seperti aku ini tak akan sedikit pun memikirkan kematian, apalagi bunuh diri. Seperti pada kasus ketika aku dan kawan-kawan merusak kantor gubernur akibat kelalaiannya dalam menjalankan tugas. Bukannya mengurusi rakyat miskin, malah menguras ‘isi kolam’ itu sendiri. Kami sampai-sampai diberi tembakan peringatan oleh kepolisian, dan tak hanya itu, kami terus melawan hingga beberapa dari kami ditangkap dan terbungkam di sel tahanan. Namun untungnya aku berhasil lolos di antara gas air mata yang memedihkan itu.

Dilahirkan di kampung terpelosok membuat mentalku kuat. Aku diajarkan untuk tak gampang putus asa dalam hal apa pun, terutama menyoal agama. Di kampungku, walau yang ada hanya mushalla, tapi masyarakat di sana sangat taat beribadat. Hal itu juga disebabkan banyaknya anak-anak desa yang merantau ke kota guna menuntut ilmu di pesantren sekian lama, lalu pulang dengan menyabet gelar Ustad, Kiai, dan semacamnya. Namun, beberapa dari mereka yang tak berhasil mengemban amanah itu malah menjadi bandit kota yang kerjaan sehari-hari tak kurang tak lebih merampok, nyopet, ngemis dan berbagai hal-hal nista lainnya. Biasanya, jika ada dari kami (anak rantau) yang pulang tanpa membuahkan apa-apa, maka hukuman yang patut dan harus diterima adalah terusir dari kampung, dan dibiarkan jadi gelandangan kota. Kampungku termasuk kampung yang menganut paham orang-orang dulu. Yaitu, marwah keluarga adalah segalanya. Tak sedikit dari mereka yang merantau itu sudah terjaring oleh penegak hukum, juga ada beberapa teman sepermainan gundu-ku dulu, kini, bahkan ada yang menetap di sel tahanan berbulan-bulan.

***
“Jadi, kau masih belum mengaku?” Wajah Munkar yang semula gahar kini mulai melemas. Sementara Nankir yang tampak kesal pun berteriak sembari memukul-mukul tanah bekas timbunan itu.

“Dari pada tak ada hasil seperti ini, bagaimana jika kalian dengarkan ceritaku saja?” Aku menawarkan kesepakatan. Menyerah, mereka pun mengangguk tanda setuju lalu duduk menungguku bercerita.

Hari itu aku berencana menemui adik tingkatan yang ingin menimba ilmu aktivis kelapangan lebih luas kepadaku. Ia memilihku karena aku sering menjadi pemimpin dalam suatu penyuaraan hak-hak asasi yang hilang di sini, dan untuk itu ia juga membayarku per jam. Saban hari kami juga sudah berjanji akan bertemu, dan memang ketika itu ia tengah masuk di kelas 20, lantai tiga gedung fakultas tua itu. Maka aku pun menyusulnya dan berniat menungguinya hingga kelar itu mata kuliah. Membakar sebatang rokok dan menyandarkan bokong di pembatas dinding. Aku memang kerap memandang ke bawah, mencondongkan badan ke depan karena angin lebih kuat ketika aku  menjulurkan kepala. Tapi, tiba-tiba, dari arah belakang ada yang menepuk punggungku sehingga aku terkejut dan nyungsup ke bawah dengan kepala duluan yang menyapa tanah.

“Lalu, kabar angin yang mengatakan bahwa kau stress hampir gila karena skripsi itu bagaimana?” Nankir mulai berkata-kata, seakan merasa masih kubodohi.

“Itu hanya rumor, Bung. Percayalah padaku, aku juga pendoa yang taat seperti kalian, kok!”

Mereka hanya merungut dan mengusap dagu berkali-kali. Di atas seperti tengah dilandai hujan deras, tanah menjadi lembab dan dingin. Cacing-cacing mulai menggeliat mendekati bangkaiku yang padahal belum genap sehari kutinggalkan.

“Tapi kami masih belum yakin apa yang kau katakan ini adalah benar. Apalagi kaum aktivis sepertimu sudah sangat lihai berbicara, sementara kami seumur-umur hanya mengabdi pada Tuhan Yang Maha Esa. Tentulah kami tak sekonyong-konyong bilang iya!”

“Aku juga punya hati nurani, kok, Kir.” Aku berupaya meyakinkan Nankir yang masih tampak bingung dengan ceritaku, lalu melanjutkan cerita-cerita mengenai kehidupanku ketika berada di dunia.

“Bisakah kalian renggangkan ikatan kafan ini? Tanganku merasa agak sedikit pegal,” lanjutku, di antara alir air yang merembes ke akar-akar tanaman.

Mereka menurut seolah keinginannya yang sangat kuat tadi sudah kurenggut. Aku melanjutkan kisah-kisah hidupku ketika masih kecil di kampung, ketika bersekolah hingga memutuskan memilih untuk menjadi anak perantauan ke kota dan hidup sebisanya. Sebab aku tak pula bisa mengharapkan penghasilan dari ladang orang tua, yang, untuk makan sehari-hari mereka saja masih kurang. Kadang aku ikut bekerja part time, mencuci piring di acara pernikahan, menjadi juru ketik untuk tugas-tugas yang malas dikerjakan mahasiswa lain, kadang juga menjadi pembicara di suatu workshop atau mengirim opini-opini tegang ke media massa.

Aku hidup dari jeri payahku sendiri. Di usia yang semuda ini, aku sudah harus bisa semandiri mungkin untuk menghadapi kehidupan. Tak jarang pula aku tak makan dalam sehari. Saat-saat seperti itu kadang kujadikan sebagai amalan. Aku memutuskan untuk berpuasa ketika itu. Kalian para malaikat, tentu tak tahu bagaimana rasanya lapar, kecewa terhadap dunia atau diri sendiri, atau merasa telah gagal pernah dilahirkan. Dan ketika aku memiliki sedikit rejeki, aku juga terus bersedekah karena telah merasakan hidup yang payah, dan tak ingin ada orang yang lebih merasa kesulitan dariku.

Aku belajar untuk hidup susah agar nantinya tak begitu sulit memasuki kehidupan yang sebenarnya. Tapi, walaupun hidupku susah, tak pula pernah aku berniat untuk bunuh diri. Tuhan, dalam keyakinanku selalu memberi jalan kemudahan bagi kaum yang taat kepadanya.  Seperti saat ini, bukankah seharusnya kalian menyiksaku? Menginterogasiku seperti polisi-polisi terdahulu yang diperintah untuk membuat seorang tersangka mengaku dengan melakukan cara apa pun? Tuhan maha pengampun, begitu juga kalian seharusnya.

“Ceritamu begitu menyentuh. Apa hidupmu benar sesulit itu? Di surga, kami tak pernah mendapati kesulitan. Atau mungkin kami memang tak diberikan hak untuk memperolehnya. Kami hanya melakukan ritual-ritual yang itu-itu melulu. Menyembah Tuhan dari pagi hingga malam hingga pagi kembali tak henti-henti. Kalian beruntung memiliki akal dan perasaan yang tak jarang berjalan tidak searah. Mungkin itu pula yang dinamakan bumbu kehidupan.” Munkar mengusap matanya yang merah sementara Nankir berupaya untuk terlihat kukuh dan tangguh.

Subuh pun tiba. Azan menggema sampai ke dalam tanah, tepat saat aku selesai bercerita. Aku lega, begitu juga mereka. Kami merasa sudah tidak ada lagi yang harus dipertentangkan lagi. Semua sudah diusut dengan tuntas, oleh ceritaku juga bekas lecutan cambuk-cambuk mereka.

“Sudah waktunya kami pergi,” ucap Munkar sambil mengeratkan kembali ikatan kain kafanku. Munkar dan Nankir, akhirnya kembali berdiri dan berpamitan.

Aku tersenyum geli melihat tingkah mereka yang semula sangat garang dan kasar itu meleleh seperti tumpahan es. Aku tak menyangka, ilmu yang kudalami sedemikian rupa ini mampu menaklukkan ketaatan malaikat kepada Tuhannya.

***

Rabu, 11 Maret 2015

Beberapa Puisi di Riau Pos, 8 Maret 2015.

Fake Plastic Tree

Engkau biarkan pohon-pohon itu terluka
menanti dahaga yang kaujanjikan di
kemudian hari.

“mencintaimu seperti kesedihan pohon-pohon
plastik yang tertata rapi dalam etalase-etalase berdebu”

Seekor anjing—barangkali pria—menunggu setelah
kauputuskan untuk mencari kepastian di
antara takdir getir hidup dan petir di langit kali
ini. Dan rahasia mana lagi yang kau coba ungkap
ketika, bahkan dirimu bungkam dalam menentukan
pilihan terbaik kelak?

Mungkin saat ini bumi kiranya tak lebih dari
plastik-plastik yang mendiami tong sampah
dan kau berada di antara tumpukan-tumpukan
kumuh itu. Bergumul dengan pelik hidup nan
mencekik.

Burung-burung membayang di langit selatan
menuju utara, kau memperhatikan dari jeruji
besi seperti burung yang terkurung dan sangat
ingin terbang. Kaubayangkan sekiranya hidup
adalah menghadapi apa yang terjadi, ke manakah
kau bisa terbang dan membayangkan tidak
seperti ini:
terbuang di antara cakar dan taring anjing yang lapar.

Pekanbaru, 2014.



After You

Tiba-tiba angin memanggilmu setelah beberapa suku kata yang kuucapkan
tak jua kautancapkan ke bayang-bayang daun yang
pelan-pelan
menjauh.

“Ternyata, bayangan, lambat laun akan hilang, tanpa kuinginkan.”
Ucapmu, lantas pergi.

Di peron terakhir, kereta api berhenti dengan hati-hati.

“Siapa lagi, siapa lagi yang akan kumatikan?”

Pekanbaru, 2014.



Versus

Telah kausebat dadaku nan gerimis dengan
amis tangis. Sisa bulir hujan tandas dan terpaksa
jatuh di atas genting, ranting dan pelepah
pisang yang mengering. Mengikut lipur angin
bergelinding memecah dinding.

Selalu dalam malam-malam diam mimpiku
berjalan mencari rusukku yang sembunyi. Selalu bau tanah
sehabis hujan buatku lupa akan aroma surga
yang kukira terjerat dalam dadamu.

Kau tak bisa membedakan pertemuan
yang kutandai dengan almanak lainnya, mengingatkanmu
pada masa-masa pahit. Mataku langsung
buta, ingatanku melupa. Ucapmu sesaat kembang yang kuhidang
menjadi layu, terbuang.

Ada cahaya di puncak igaumu, seperti
kilau pedang yang menyelamatkan desa kota dan negara
namun tak mampu menyelamatkan dirinya.

Namun tetap, kilau pedang nan melegenda
itu bukanlah lawan  tepat untuk matamu yang tajam. Dan
matamu yang tajam barangkali penyemat kehidupan
yang baik.

Barangkali, Cinta, cinta bukanlah suatu
amar yang melelahkan atau nahi yang mengancam
urat nadi.

:Seperti sebilah pedang, yang terancam dirinya sendiri.

Pekanbaru, 2014.



Iman

Adakah kesepian, di antara kelir cahaya—jumawa dalam nestapa kelam.

Kau menaruh siaga pada malam yang rombeng. Sunyi telah sudi mengijinkan
sepasang matamu berbinar, memantulkan nanar pada pendar jelaga langit. Dan
anginku yang liar sesungguhnya dinubuatkan keangkuhan semata.

Kau tak yakin dalam hidup, benarkah ada cinta yang dini sekiranya napas
berdengus berlari dari peraduan malam yang tak henti-hentinya
mengetuk mimpi. Tapi kau tahu, tabiatku sesungguhnya ialah ceruk bagi
perangai nan nifak. Semenjak cinta dibunuh dan kau menanggungnya,
dengan putus asa.

Kini, kau pun terbiasa berduka dan tidak merasa sia-sia.

Pekanbaru, 2014.




Perkabungan Sunyi

Di dinding kamar ini aku suka menulis puisi.
melumurinya dengan cat warna-warni
sebatas mengungkap isi hati.

Sangat hati-hati kupoles itu dinding dengan
bekas-bekas luka, dengan ingatan yang
tersisa, tak lupa pula kulukis langit, yang
sering sinis memandang aku.

Dari ventilasi masuklah seserpih cahaya,
angin dan jerebu. Kadang juga kumbang
dan kupu-kupu. Kemudian entah karena
apa, cahaya jerebu kumbang kupu-kupu
dan segala yang memasuki kamarku melukis
dirinya di dinding. Seperti ingin bergabung
di perkabungan sunyi ini.

Pekanbaru, 2014.




Reky Arfal
penggiat Malam Puisi Pekanbaru. Mahasiswa UIN SUSKA Riau, jurusan Ilmu Hukum.