Rabu, 11 Maret 2015

Beberapa Puisi di Riau Pos, 8 Maret 2015.

Fake Plastic Tree

Engkau biarkan pohon-pohon itu terluka
menanti dahaga yang kaujanjikan di
kemudian hari.

“mencintaimu seperti kesedihan pohon-pohon
plastik yang tertata rapi dalam etalase-etalase berdebu”

Seekor anjing—barangkali pria—menunggu setelah
kauputuskan untuk mencari kepastian di
antara takdir getir hidup dan petir di langit kali
ini. Dan rahasia mana lagi yang kau coba ungkap
ketika, bahkan dirimu bungkam dalam menentukan
pilihan terbaik kelak?

Mungkin saat ini bumi kiranya tak lebih dari
plastik-plastik yang mendiami tong sampah
dan kau berada di antara tumpukan-tumpukan
kumuh itu. Bergumul dengan pelik hidup nan
mencekik.

Burung-burung membayang di langit selatan
menuju utara, kau memperhatikan dari jeruji
besi seperti burung yang terkurung dan sangat
ingin terbang. Kaubayangkan sekiranya hidup
adalah menghadapi apa yang terjadi, ke manakah
kau bisa terbang dan membayangkan tidak
seperti ini:
terbuang di antara cakar dan taring anjing yang lapar.

Pekanbaru, 2014.



After You

Tiba-tiba angin memanggilmu setelah beberapa suku kata yang kuucapkan
tak jua kautancapkan ke bayang-bayang daun yang
pelan-pelan
menjauh.

“Ternyata, bayangan, lambat laun akan hilang, tanpa kuinginkan.”
Ucapmu, lantas pergi.

Di peron terakhir, kereta api berhenti dengan hati-hati.

“Siapa lagi, siapa lagi yang akan kumatikan?”

Pekanbaru, 2014.



Versus

Telah kausebat dadaku nan gerimis dengan
amis tangis. Sisa bulir hujan tandas dan terpaksa
jatuh di atas genting, ranting dan pelepah
pisang yang mengering. Mengikut lipur angin
bergelinding memecah dinding.

Selalu dalam malam-malam diam mimpiku
berjalan mencari rusukku yang sembunyi. Selalu bau tanah
sehabis hujan buatku lupa akan aroma surga
yang kukira terjerat dalam dadamu.

Kau tak bisa membedakan pertemuan
yang kutandai dengan almanak lainnya, mengingatkanmu
pada masa-masa pahit. Mataku langsung
buta, ingatanku melupa. Ucapmu sesaat kembang yang kuhidang
menjadi layu, terbuang.

Ada cahaya di puncak igaumu, seperti
kilau pedang yang menyelamatkan desa kota dan negara
namun tak mampu menyelamatkan dirinya.

Namun tetap, kilau pedang nan melegenda
itu bukanlah lawan  tepat untuk matamu yang tajam. Dan
matamu yang tajam barangkali penyemat kehidupan
yang baik.

Barangkali, Cinta, cinta bukanlah suatu
amar yang melelahkan atau nahi yang mengancam
urat nadi.

:Seperti sebilah pedang, yang terancam dirinya sendiri.

Pekanbaru, 2014.



Iman

Adakah kesepian, di antara kelir cahaya—jumawa dalam nestapa kelam.

Kau menaruh siaga pada malam yang rombeng. Sunyi telah sudi mengijinkan
sepasang matamu berbinar, memantulkan nanar pada pendar jelaga langit. Dan
anginku yang liar sesungguhnya dinubuatkan keangkuhan semata.

Kau tak yakin dalam hidup, benarkah ada cinta yang dini sekiranya napas
berdengus berlari dari peraduan malam yang tak henti-hentinya
mengetuk mimpi. Tapi kau tahu, tabiatku sesungguhnya ialah ceruk bagi
perangai nan nifak. Semenjak cinta dibunuh dan kau menanggungnya,
dengan putus asa.

Kini, kau pun terbiasa berduka dan tidak merasa sia-sia.

Pekanbaru, 2014.




Perkabungan Sunyi

Di dinding kamar ini aku suka menulis puisi.
melumurinya dengan cat warna-warni
sebatas mengungkap isi hati.

Sangat hati-hati kupoles itu dinding dengan
bekas-bekas luka, dengan ingatan yang
tersisa, tak lupa pula kulukis langit, yang
sering sinis memandang aku.

Dari ventilasi masuklah seserpih cahaya,
angin dan jerebu. Kadang juga kumbang
dan kupu-kupu. Kemudian entah karena
apa, cahaya jerebu kumbang kupu-kupu
dan segala yang memasuki kamarku melukis
dirinya di dinding. Seperti ingin bergabung
di perkabungan sunyi ini.

Pekanbaru, 2014.




Reky Arfal
penggiat Malam Puisi Pekanbaru. Mahasiswa UIN SUSKA Riau, jurusan Ilmu Hukum.