Jumat, 01 Juli 2016

Cinta Kepadamu

Cinta kepadamu adalah pengharapan
seribu tujuh ratus sembilan kilometer
jalan menaik menarik pinggangku
menjadikanku paus bungkuk
jalan menurun berlubang mengempas tapi aku tak jua sampai padamu
apakah senyummu masih merangkum sembilu
seseorang di dalam pengeras suara meneriaki
hanya wanita baik yang merelakan lelakinya pergi
dan lelaki tak pernah mengerti arti diam
cinta kepadamu adalah cahaya bintang yang mengembang dan membubuhi soda memabukkan ke wajahku
wajahmu menyalin kaca
di kafe ini, jendela yang pernah menghalangi pandang hilang
sedang keningmu yang luas, yang belum jelas tergambar di kepalaku ingin sekali kujadikan alas tulis
maka demi segala kesemrawutan ini, letih mendidih di tubuhku, padahal hujan tengah melebat di luar
seperti debar dalam dadaku
kerapkali kau tuangkan nyeri
dahaga tak jua menjumpaiku
lidahku masih haus merasakanmu
maka kau tuang sekali lagi
cukup sekali karena pandanganku
mulai buram
seperti permukaan kaca
yang menyalin wajahmu

Kamis, 30 Juni 2016

Beberapa Puisi di Riau Pos, 1 Mei 2016

Sebelum Pagi Jatuh

Jauh sebelum pagi jatuh
di pos jaga yang dipenuhi kabut
seorang tua memandangi langit
kipas angin bergetar di depannya
kumbang merayap dan
memenuhi isi telinga

“Sudah beberapa malam ini, bulan tidak
muncul juga.
Mungkin pertanda buruk, atau bukan apa-apa,”

Jam berdetak. Di jantungnya yang pengap
berdetik gelisah amsal kaki-kaki meja yang rapuh dan
tak lagi mampu menahan beban seluruh

Ia hanya duduk, menunggu pukul 1, 2, 3 dan 4 dini hari
mungkin menunggu azan menggaung
dan merampungkan mimpi
mimpi yang berkeringat mengingat lewat masa lalu

Lalu gerimis tiba
jauh sebelum pagi jatuh
di pos jaga, seorang tua memandangi langit
dengan perasaan yang bergetar
di kipas angin

Pekanbaru, 2015


Menyeberang Jalan

sambil menerawang ke seberang, aku melihatmu menunggu, sementara di jalan mesin-mesin berlewatan, memacu terik siang payakumbuh. sesekali aku pikir ingin menyeberang, menggapai tubuhmu, lalu kita bersama menatap dunia yang licin.

di pasar ibuh memang kita bertemu, di rumah gadangku itu, lihatlah, betapa muram sejarah mencatat silsilah, dan aku masih membatin betapa asing ini kampung, betapa pedas cabai yang terserak di tadah plastik itu.

kecut lidahku, hanya asam kandis terasa, dan hanya manis mampu kuterima, gelamai, seturut beras rendang, masih terasa kelat, dan menganggapku semata pelancong.

aku hanya penyeberang, adinda, aku bahkan sebatas melintasi rumahmu, lalu beringsut menuju tebing curam ngalau indah.

Payakumbuh, 2016

Epigrafi

Tertulis sebuah epigrafi:
“Jangan menuhankan cinta,”

Seusai menulis prasasti
tuhan pergi
menyeka air mata

Pekanbaru, 2014


Di Palung Mimpi

pada ini liang kau bergelung, menyusur hingga ke
palung mimpi. adakah kau temui siapa pun,
doa-doa menyembul, mata air
mengalir?

sesuatu, entah apa menampakkan diri di antara
relung malam. malam hanyut di pusar
waktu, waktu kian berderap, dan
hingga kini tak jua mampu
menghapus masa lalu.

Pekanbaru, 2015

Jumat, 29 April 2016

Catatan Perjalanan.

Dalam hidup, kita hanya perlu dua hari: hari di mana kau menulisnya, dan hari di mana kau membacanya." ~ dikutip dari Firdaus Amran.

Barangkali, kalimat di atas dapat menggambarkan bagaimana seharusnya manusia berproses. Kalimat di atas bisa jadi adalah landasan yang baik untuk tidak membiarkan kita berdiam diri saja. Maka boleh dikatakan bahwa untuk memulai, ada baiknya tak memerlukan hari nanti, melainkan saat ini. Dan sebagaimana saat ini, hari nanti juga akan menjadi saat ini pada masanya. Dalam artian, setiap saat dapat menciptakan pengalaman baru, dan tentunya tergantung pengamalan kita. Perbuatan yang telah kita ciptakan pada saat ini. 

**

Jumat, 22 April 2016 merupakan hari bersejarah bagi saya. Usai sembahyang jumat, saya memutuskan untuk berangkat dari Pekanbaru ke Bandung, menemani abang (sebut saja Kharis) memakai jalur darat. Perjalanan yang lumayan jauh. Perjalanan yang nantinya akan terkenang sampai kapan pun. Perjalanan lintas pulau perdana saya. Menempuh seribu tujuh ratus sembilan kilometer, bukanlah perkara main-main. Ada banyak hal yang mesti dipertaruhkan. Jadwal kuliah salah satunya.

Berangkat dari Pekanbaru dengan harapan sampai Jambi pada malamnya, ternyata buyar setelah melihat kondisi jalanan yang padat, sempit dan lumayan hancur. Terlebih, belum lagi cerita-cerita orang seperjalanan, mengatakan, ada baiknya bermalam di penginapan. Jalan lintas timur memang tak pernah aman dan nyaman. Ada banyak kejadian mengerikan di pesawangan, terutama di malam hari. Orang setempat menyebut perompak malam di sini adalah bajing lompat. Beberapa lain juga menyuarakan begal, dan banyak lagi. Tak jarang pula nyawa melayang. Kemudian bulatlah tekad untuk bermalam di wisma, di daerah Pematang Rebah, Rengat. 

Esoknya, pagi sekali kami sudah bersiap dan berangkat. Menuju Jambi, dalam bayangan saya, akan ada banyak hal baru yang ditemukan. Salah satunya adalah kultur. Di Jambi, setidaknya di pinggiran jalan lintas, sudah dapat ditemui rumah-rumah panggung. Kaum marjinal, masyarakat pinggiran, masyarakat yang bergeser karena tak sanggup hidup bertautan dengan keadaan. Saya lumayan sedih dan kacau, karena memang, sepanjang jalan, yang dapat ditemui itu-itu saja (selebihnya hanya hutan sawit), sampai ke kota Jambi. Lalu menginaplah kami di Jambi, beristirahat, dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

Dari Jambi menuju Palembang. Dengan isi kepala yang mengambang dan penasaran, saya melanjutkan perjalanan. Hanya hutan sawit, sekali rumah-rumah, perbatasan, juga minimarket. Di atas kendaraan semua tampak sepintas. Tak ada yang terekam secara sempurna, terlebih pemandangan yang begitu-gitu saja. Perbedaan saat ini dan kemarin hanya, pegal linu makin kemari makin menumpuk. Pinggang merenggang. Bahu membungkuk. Lalu, apa yang dapat diambil dari rasa letih dan sakit? Barangkali pengalaman. Mungkin benar, tak ada yang baru di bawah pijar matahari, hanya saja, tak pernah ada yang cukup lama menampungnya. Rasa sakit akan hilang. Tapi pengalaman akan jadi sejarah, akan jadi obat mujarab bagi hari nanti. 

Bermalam di Palembang, dan paginya harus meneruskan perjalanan ke bagian lebih selatan: Lampung. Di sepanjang perjalanan, mulai terlihat masyarakat pesisir. Dari penampakan rumah panggung, sungai-sungai, sampai pada persawahan yang terendam. Tentu akan ada banyak perbedaan dari kota, kampung atau provinsi sebelumnya, bahasa, adat, bentuk geografis, dan lain sebagainya. Saya kira inilah keistimewaan berkendara jauh. Kita dapat mengenal apa yang belum kita ketahui lebih dekat, atau bisa disebut "turun ke lapangan". Selain dapat dikategorikan sebagai hobi, juga tentunya menambah edukasi. 

Bandar Lampung bukan kota malam. Itu yang saya tangkap sekilas setelah bermalam di kota ini. Selain sepi, juga tak banyak yang bisa dipandang. Padahal, ada sebuah gunung yang menjulang di sana. Juga letaknya yang tak jauh dari laut, membuat ini kota memiliki keistimewaan tersendiri. Lalu pagi tiba, dan saat yang saya nantikan mendekat: menyeberangi pulau. 

Menuju Bakauheni, kira-kira memakan waktu dua jam. Sesampai di sana, saya sedikit terperangah menyaksikan keindahan alamnya. Di bandar itu, ada banyak hal baru yang mengembirakan. Kapal-kapal berderet. Laut yang tenang. Dan wajah-wajah baru yang juga menunggu. Bakauheni ke Merak. Kapal dihidupkan. Kami berjalan di atas air. Sebagaimana Bakauheni, Merak juga tak kalah mengagumkan. Ada bukit kecil yang menonjol di belakangnya seperti gigi gingsul Nabilah Ratna Ayu. Lalu, tanpa menyiakan waktu, kami berangkat menuju Bandung. 

Jalanan lumayan macet. Dari Cilegon, saya mengambil jalan lintas Bogor, alih-alih juga ingin menyaksikan pemandangan kota seribu angkot itu dari Puncak. Dan benar. Selain dingin yang menggigit, lampu-lampu di pekarangan begitu menenangkan. Seperti berada di atas langit, dan menyaksikan bintang berkelap-kelip. Ditemani secangkir kopi dan Indomie rebus hangat yang sesaat langsung dingin, saya menyaksikan pemandangan itu. Juga sesekali terdengar bahasa sunda yang tak saya mengerti sama sekali. Tapi baiklah, mungkin ke depan saya akan memelajarinya, alih-alih mendapat gadis sunda yang terkenal santun sekaligus anggun. 

Kemudian lanjut jalan. Dingin menyertai kami. Di tepi jalan, ada banyak mamang-mamang menawarkan vila, sampai bandul jam menunjuk pukul 11, sampai pula kami di Bandung. Kota yang terkenal memiliki hawa yang ramah, dan tata kota yang menarik. Ini kedua kali saya mengunjungi Bandung, namun tetap, selalu ada perasaan yang menggebu ketika mengunjungi tempat istimewa. Bandung, saya kira adalah tempat yang pantas untuk bersemadi, untuk mengasingkan diri dari rutinitas. Terlebih, kegiatan yang saya senangi beberapa tahun belakangan adalah menulis. Saya dapat menulis berdasar sudut pandang baru dari sini. Saya dapat melihat bagaimana Pekanbaru dari jauh, atau meminjam kacamata orang Bandung, dan menyaksikan bagaimana Bandung memandang kota tempat tinggal saya. Terlebih, perjalanan untuk sampai ke sini, telah merupa bekal baru, sejarah baru untuk dituliskan, untuk dikekalkan ke dalam bentuk yang sulit dihapuskan. 

Saya menulis ini, selain menceritakan pengalaman, adalah untuk mengingatkan, bahwa dalam hidup, selain berpikir dan berniat, berlaku juga mesti dijalankan. 

Mari bergerak. Lakukan apa pun yang menyenangkan hati. Buatlah sejarahmu sendiri, agar hidupmu memiliki jalannya sendiri, kemudian, berharaplah, kelak jalan yang telah ditempuh itu, bertaut dengan jalanNya.

Bandung, 30 April 2016.