Sabtu, 26 November 2011

Ayah, Ibu.. Luna udah buat kalian bangga kan?

Ini cerita tentang bagaimana menyukuri kehidupan.. tentang bagaimana mencapai impian dan tentang bagaimana proses dari kehidupan itu sendiri. Hidup tanpa impian.. apa bisa?


*****

“ Hal yang paling berbahaya dalam hidup ini adalah angan-angan yang menjadi kenyataan karena tidak ada lagi yang bisa diimpikan ” - Michael Ende..

Aku tertegun seraya menutup novel karangan Windhy Puspitasari yang baru saja selesai kubaca. Kalimat terakhir penutup cerita novel itu sukses bernaung di rongga otakku. Mimpi. Selama hidupku aku tidak mempunyai mimpi apapun. Aku hanya menjalani hidup sesederhana mungkin, menjalani hidup dengan caraku, menjalani hidup dengan santai tanpa mau tau kemana sebenarnya akan kuletakkan sisa hidupku nantinya.

Tapi kalau boleh jujur, sebenarnya hidupku tidak sedramatis seperti apa yang kuceritakan tadi. Dulu, aku mempunyai sebuah mimpi. Tapi itu dulu, dan bukan menjadi hal yang penting saat ini. Percuma saja aku memiliki impian. Toh, aku hanya seorang gadis yang tidak memiliki bakat dibidang apapun, seorang gadis bodoh dan seorang gadis yang terasingkan. Begitu hari ini, esok dan sampai kapanpun. Tidak akan pernah berubah.

*****

Perkenalkan, namaku Aluna Indah Fahrezi. Cukup dengan menyebut “LUNA”, aku akan menatap kearahmu dan bertanya, “ada apa memanggilku?”. Aku bungsu dari 2 bersaudara. Aku tinggal bersama Ayah, Ibu dan Kakak Lelakiku. 17 tahun aku hidup bersama keluarga ini. Bersama Ayah dan Ibu yang selalu membanding-bandingkanku dengan kakakku, kak Rendi. Salah satu mahasiswa penyandang beasiswa di Universitas Negeri terbaik di Indonesia. Calon Dokter Muda kebanggan Ayah dan Ibu.

Luna. Ya! Aku. Selalu terasingkan, selalu menjadi pembanding atas kehebatan kakak tertuaku, dan tidak pernah membuat bangga Ayah dan Ibu. Alur kehidupanku hanya seperti itu. Menyedihkan. But, who's care about my pain? No one right? Yeah, I guess!

*****

Senin, selepas Uparaca bendera. Pelajaran pertama hari ini adalah BP/BK. Pelajaran yang sangat ku benci. Tapi sebenarnya, aku membenci semua pelajaran (kecuali bahasa indonesia, karena aku belajar banyak disina), tapi untuk pelajaran BK, aku membencinya lebih dari aku membenci pelajaran yang lain.

Tak lama, seorang pria berbadan tegap, berkumis tebal dan berwajah agak sedikit tidak bersahabat memasuki ruang kelas tempatku belajar, XII IPA 3. Dia Pak Deni, guru BK ku. Seperti biasa, setelah berdoa dan mengucap salam, Pak Deni langsung memberikan materi pelajaran yang selalu saja sama setiap pertemuan. “ Rencana Setamat SMA”. Aaaah! I do hate this part!

Pak deni mulai menanyai masing-masing siswa, “Kemana kamu akan melanjutkan studymu?”. Aku paling benci bagian ini. Aku hanya mengunyah-mengunyah permen karet tanpa memperhatikan Pak Deni sedikitpun.

“Okee, Aluna! Saya mau menagih jawaban yang kamu janjikan kepada saya minggu lalu.” Ujar Pak Deni yang membuatku agak sedikit tersentak.

“Eh, jawaban atas pertanyaan apa pak?” jawabku kikuk.

“Kemana kamu akan melanjutkan study kamu setamat SMA?”

Aku memutar-mutar bola mataku. Pertanyaan itu lagi. Tanpa harus bersusah-susah berpikir panjang, aku menjawab pertanyaan tadi dengan jawaban yang biasa ku lontarkan untuk setiap orang yang menanyaiku hal tersebut, “Kemana Tuhan akan meletakkan saya saja Pak.” ujarku santai. Sama sekali tidak logis.

Pak Deni geleng-geleng mendengar jawabanku. Mungkin ia sudah jengah mendengarnya. “Aluna... Alunaa... kamu i.....”

“Maaf Pak, panggil saya Luna. L-U-N-A. Bukan Aluna.” sanggahku memotong perkataan bapak tua itu. Aku tidak suka dipanggil Aluna. Sampai kapanpun!

“Okee Luna!” tutur Pak Deni tegas.”Kamu ini sudah kelas XII. Seharusnya kamu sudah menentukan kemana kamu akan melanjutkan study kamu nantinya. Seharusnya kamu mencontoh kakakmu, Rendi. Dia terkenal karena prestasinya. Siapa yang tidak kenal dia?! Tamatan sekolah ini yang menjadi satu-satunya penyandang beasiswa terbesar di Fakultas Kedokteran. Dia itu blaaa bla blaaa.”

Aku tidak terlalu mendengar ocehan si lelaki tua tadi. Aku hanya memutar-mutar bola mataku seraya mengunyah permen karet yang sedari tadi masih berada di mulutku. Lagi-lagi aku harus menjadi pembanding atas prestasi kakak. Lagi-lagi aku harus disudutkan didepan umum. Lagi-lagi aku harus merasa menjadi orang yang paling tidak berguna yang pernah dilahirkan Ibu. Sedih? Pasti! Tapi perasaan itu hanya kurasakan di awal, awal pertama saat aku diperlakukan seperti itu. Untuk saat ini? Yah, abaikan saja mereka bersama ocehan tidak bergunanya itu. Aku sudah terbiasa.

*****

Jam istirahat..
Saat-saat yang paling menyenangkan menurutku. Disaat semua murid mulai keluar dari kelas, dan hanya aku yang menikmati ruang kelasku sendirian. Sendirian! Memang seperti ini dan memang sudah seharusnya seperti ini. Aku tidak mempunyai satu orangpun sahabat. Semua orang menjauhiku. Semua orang mengucilkanku. Ntah, aku juga tidak tau alasan yang tepat mengapa mereka menjauhiku. Tapi ya sudahlah, aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. No one care.

Aku selalu menyukai keadaan kelas yang seperti ini. Sepi, sunyi dan tenang. Disaat- saat seperti inilah inspirasiku untuk menulis muncul. Aku suka menulis. Mengembangkan khayalan dan halusinasi yang kupunya kedalam tulisan. Tidak jarang aku menuliskan keadaanku yang berbanding terbalik dengan kenyataanku saat ini. Aku mencintai hobiku ini. Dari sini aku mendapatkan kebahagiaan hidup yang selama ini ku impikan. Walau hanya impian.

Aku mulai menuangkan pikiranku. Membayangkan ide apa yang akan ku tuangkan kedalam karyaku kali ini. Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekati ruang kelasku. Sesosok pria jangkung, berkulit putih, berwajah teduh, mengenakan Hand Band putih dan sebuah bola basket ditangannya memasuki kelasku. Ooh Albert. Cowok campuran Indo-Belanda yang menjabat sebagai kapten basket cowok disekolah ini. Pujaan hampir seluruh siswi disekolah. Kecuali aku, karna aku cukup sadar diri.

Albert menatap seisi kelas, sementara aku hanya berpura-pura tidak menyadari kehadirannya. Aku tau saat ini ia sedang menatapku. Aku menatap balik kearahnya. Sepintas kemudian ia berjalan ke arahku. “mau apa orang ini!” batinku.

“hai Luna..” sapanya sambil tersenyum hangat.

Aku menatapnya dingin. “ada apa?”

“gak ada. Aku cuma pengen nyapa kamu aja.” jeda beberapa detik. “aku perhatiin, kamu suka nulis narasi ya Lun?” tanyanya sambil melihat kertas yang tadinya kutulis lalu duduk disampingku.”

apa-apaan orang ini! Siapa yang mengizinkannya duduk disebelahku?!” aku hanya diam. Tidak menjawab..

“Aku sering baca tulisan-tulisan kamu dimading. Dan aku pikir, cukup bagus. Kamu punya bakat ngeluarin ide-ide yang ada didalam pikiran kamu.”

“Pujian?” jawabku sinis tanpa mengalihkan pandanganku dari kertas yang sedang kutulis.

Albert tergelak. Mungkin baru aku yang menanggapinya dingin seperti ini. “iya Lun.. Itu pujian.”

“thanks.”

“hehe iya sama-sama. Eh, ngomong-ngomong lun. Kamu mau jadi penulis yaaa?” tutur Albert.

Aku tertegun. Mengalihkan pendanganku kearahnya lalu kembali menatap kertas-kertas yang kutulis. “aku nggak punya bakat untuk menjadi penulis. Bahkan untuk membayangkan menjadi seorang penulis pun aku nggak punya bakat.”

“Lhoo? Siapa bilang lamu nggak punya bakat? Kamu punya bakat kok Lun. Tulisan kamu juga bagus. Kenapa kamu nggak coba untuk ngirim tulisan-tulisan kamu ke redaksi majalah atau semacamnya gitu? Itung-itung permulaan. Gak ada salahnyakan buat nyoba?” jelas Albert.

ada apa dengan orang ini? Mengapa ia begitu mendukungku?” benakku. “Aku sama sekali tidak memiliki kemampuan dibidang apapun. Jadi percuma saja. Hanya membuang-buang waktu.

Albert kaget lalu sepintas kemudian tersenyum penuh arti. “Luna.. manusia, bakat dan keberuntungan itu satu paket. Setiap orang terlahir dengan bakat-bakat unik yang ia miliki. Aku, kamu, mereka, bahkan orang yang terguncang saja jiwanya memiliki bakat dan mimpi. Pembedanya hanya terletak pada bidang yang diminati masing-masing orang saja. Contohnya, aku sama kamu. Kamu punya bakat dibidang tulis-menulis dan aku berbakat dibidang olahraga, terutama basket. Inilah bakat kita Lun. Mulai dari menyukai hal tersebut, mencoba mempraktekkannya dan lama-lama menjadi sebuah kecintaan atau bahkan kebutuhan.”
Aku hanya bisa melongo mendengar perkataan Albert. Pantas saja banyak orang yang mengagumi sosok Albert. Rupanya selain tampan, multitalent, ternyata orang ini juga sangat cerdas.

Aku mendesah. Meletakkan pena yang sedari tadi ku genggam lalu bersandar dikursi. “ngomong itu mudah. Kamu beruntung memiliki kehidupan seperti ini. Sementara aku?” aku tersenyum. Senyum letih. “mereka selalu menganggapku tidak berguna. Tidak bisa melakukan apa-apa.”

Albert menatapku dalam. “Menurutku tidak ada manusia yang tidak berguna. Masing-masing pasti memiliki sisi diri yang unik. Masing-masing pribadi itu berguna dan memiliki arti. Kalau kamu nggak berguna, terus buat apa dong Tuhan nyiptain kamu? Capek-capekin Dia aja kan?” Aku menatapnya, begitu juga dengannya. Benar apa yang dia ucapin. “Kamu itu berguna Lun, makanya Tuhan nyiptain kamu. Mungkin mereka nganggap kamu nggak berguna, yah biarin aja. Toh itu hanya bualan. Gak perlu terlalu didengarin. Mereka hanya penggangu yang nggak berguna.”

aku benar-benar terpesona mendengar perkataan Rendi. Orang ini benar-benar beruntung terlahir menjadi dirinya!!

Bel masuk berbunyi.

“Ya udah, jangan terlalu dipikirin apa kata orang Lun. Aku balik ketempat dudukku dulu ya.” Albert kembali menuju tempat duduknya setelah menerima anggukan dariku. Anak-anak lain masuk kekelas dan menatapku dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan. Lagi-lagi aku hanya memutar kedua bola mataku lalu mendelik kearah mereka. “APAAAA?!!!”

Jam pelajaran berlalu. Bel pulang sudah berbunyi pertanda jam pelajaran hari ini sudah berakhir.

“Akhirnya jam-jam yang penuh siksaan ini berakhir.” gumamku sambil memasukkan buku ke ransel. Murid-murid dari kelas lain sudah lalu lalang melewati kelasku. Aku menyapu pandanganku ke seisi kelas. Kosong. Tidak ada orang lain lagi dikelas ini selain aku daaaan.. Albert! Kenapa dia belum pulang?

Tanpa sadar, aku terus memperhatikan Albert. Beruntungnya dia, ia memiliki hidup yang sangat ingin aku miliki. Dia punya semua yang aku inginkan, terutama teman. Albert memiliki kehidupan yang 360 derajat berbeda dengan kehidupanku. Aku menghembus nafas berat sambil terus menatap orang yang duduk berjarak tiga bangku dari tempat dudukku itu. Tiba-tiba, ia menoleh dan mata kami bertemu disatu titik. Aku gelagapan dan mengalihkan pandanganku darinya. Seketika aku langsung berdiri, mengambil ranselku dan berjalan keluar kelas. Aku mau pu.....

“Lunaaa!” panggil seseorang dari arah belakang. Albert.

Aku kembali menatapnya dengan tatapan dingin. “apa?”

Albert tersenyum, “Sebaiknya kamu pikirin kata-kata aku tadi. Sebelum semuanya terlambat.”

sebelum semuanya terlambat? Maksudnya? Aneh!” batinku. Aku hanya mengabaikan kalimatnya tadi lalu terus berjalan tanpa sedikitpun mengacuhkan panggilannya. “dasar ANEH!”

*****

Seperti biasa, aku sampai dirumah tanpa ada yang menyambutku. Jauh berbeda kalau Kak Rendi yang baru pulang dari kampus. Setiap ia pulang, ia selalu disambut hangat oleh ibu. Dicium oleh Ibu. Hal yang selama 17 tahun belum pernah kurasakan sama sekali. Sungguh, benar-benar menyakitkan.

Setelah melepas sepatu sekolah, aku menuju kamar. Seperti biasa, aku ingin melanjutkan tulisanku. Satu-satunya aktivitas yang kusukai dirumah ini.

Tsseeert.. aku membuka pintu kamar. Mataku menjelajah memandangi kamar bernuansa pink lembut ini. Penuh dengan warna pink, warna kesukaanku. Tapii.. Haaa? Kak rendi! Ngapain dia dikamarku?! Dan laptop.. laptopkuuuuu!!!

“Kak Rendi!” aku memanggil kak Rendi dengan tatapan tidak senang. Aku memang nggak suka kalau ada orang lain yang menyelinap kekamarku tanpa izin..

Kak Rendi menoleh kearahku yang masih berdiri didepan pintu. Ia tersenyum sekilas, “eh.. kamu udah pulang sayang?” ujar kak Rendi.

“aaah! Udahlah jangan banyak basa-basi!” umpatku dalam hati. ”ngapain dikamarku?” tuturku dingin, seperti biasa.

“Ini, kakak lagi liat-liat isi laptop kamu. Kakak penasaran, apa sih yang kamu lakuin berjam-jam didepan layar laptop?! Kok betah amat gitu.. eh, rupanya kamu nulis yaa hehehe..” jawab si Calon DOKTER muda kebanggaan Ayah dan Ibu itu. Ciiiih!

Aku tidak berkata apa-apa. Aku hanya berjalan kearahnya lalu merebut laptopku dari genggamannya. “Aku nggak suka ada orang yang mengotak-atik laptopku.”

Kak Rendi tersenyum. Aku tau senyumnya itu senyum tulus untukku. Aku tau kakakku ini berhati baik. Tapi tetap saja! Orang ini yang sudah membuatku tidak pernah merasakan kasih sayang dari Ayah dan Ibu. Tapi sebenarnya, aku tidak benar-benar membenci kakak semata wayangku ini. Aku menyayanginya.. sangat menyayanginya..

“iya maaf.. maaf.. sadis amat sih kamu. Kakak kan cuma pengen tau aja Lun.”

“.....”

kak Rendi mendesah melihatku yang lebih tertarik untuk memeriksa laptop. “Kakak liat, kamu punya bakat di seni tulis-menulis Lun.”

aku tersentak, namun pandanganku tetap menuju ke layar laptop. “Jangan sok menghiburku.” ya! Aku memang selalu bersikap seperti ini kepada orang yang sedang berada disampingku ini.

Giliran kak Rendi yang tersentak mendengar kalimatku. “kakak nggak lagi menghibur kamu Lun. Kakak serius!”

“.....”

Jeda. “Kakak liat kamu punya bakat dibidang menulis. Tulisan kamu juga bagus dan cukup menginspirasi. Yah, setidaknya untuk kakak yang membacanya. “ ”.....” “Kamu mau kakak bantuin buat ngirim semua tulisan-tulisan kamu ke penerbit?”

aku menatap Kak Rendi, lalu segera mengalihkan padanganku darinya. “nggak usah. Makasih.”

“kenapa kamu nggak mau nyoba Lun? Siapa tau ada penerbit yang mau memuat karya kamu nantinya.”

Baik! Aku sudah muak mendengar semua ocehan orang ini.

“Bakat itu nggak boleh dipendam-pendam Lun.. kalau kamu punya bakat, ayo dong ditunjukin.” ujar kak rendi lagi..

hening. Aku menoleh sekilas kearah kak Rendi yang tampak seperti sedang berpikir. Mungkin ia sedang menyusun kata-kata yang ingin dikeluarkannya. “apa lagi yang ingin dikatakan orang ini!”

“Mungkin.. heem.. Mungkin dengan cara ini juga kamu bisa seperti kakak. Bisa membuat bangga Ayah dan Ibu.”

membanggakan Ayah dan Ibu?”. Hatiku terasa mendidih mendengar Kak Rendi melontarkan kalimat itu.

“mungkin dengan cara itu juga kamu...”

“STOOOP!!” Jeritku memotong kalimat kak Rendi. “sebenarnya kakak kesini mau ngapain sih? Mau mengejekku? Mau menertawakanku? Atau mau sok menjadi pahlawan bagiku haaa?” emosiku naik. “dengar! Aku nggak punya bakat dibidang apapun!!! Aku, Ayah, Ibu, kakak bahkan semua orang juga tau itu!” kali ini aku benar-benar tidak bisa membendung air mataku lagi.

“.....”

“aku nggak akan bisa jadi kayak kakak. Aku juga nggak akan pernah bisa jadi kebanggaan Ayah sama Ibu.” Ujarku terisak.. “Selamanya aku hanya akan menjadi pembanding untuk kehebatan kakak dimata Ayah dan Ibu. Gak lebih! Dan gak akan pernah lebih. Kakak pasti udah tau kan?! Iya kaaaan kak?! Jadi apa peduli kakak haaa? Apaaa?!!” jeritku tanpa bisa membendung perasaan tertekan yang selama ini selalu aku sembunyikan.

Kak rendi masih membiarkanku melepas semua perasaan yang ada dihatiku..

aku mendesah dan mengahapus air mataku sambil tersenyum kecut kearahnya. “huuuh (suara mendesah kebayangkan? *gak tau cara nulisnya gimana xD*). Percuma aku ngelakuin semua saran kakak tadi. Toh ayah sama ibu juga gak akan pernah menghargai apa yang aku lakuinkan?”


“.....”


“kakak beruntung.” ujarku sesunggukan. Perih, sampai aku tidak bisa mengontrol air mataku untuk tidak mengalir lagi. “kakak beruntung punya ayah dan ibu yang selalu sayang sama kakak, menjadi putra yang selalu mereka banggakan. Sementara aku? Aku bukan seperti kakak. Aku bukan penyandang beasiswa terbesar di negeri ini. Aku bukan siswa tamatan terbaik. Aku nggak punya MIMPI yang luar biasa kayak kakak. Boro-boro dibanggain. Melahirkanku saja mungkin sudah menjadi sebuah penyesalan untuk ibu.” air mataku semakin deras..


refleks, kak rendi langsung menarikku dan memelukku seerat-eratnya. Air mataku semakin tak mampu untuk dibendung. Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan kak Rendi. Kali pertama aku merasakan bagaimana rasanya dipeluk oleh sosok seorang kakak. Hangat. Sangat hangat.


Terdengar desahan nafas kak rendi. “Luna..” ujarnya lembut. “Untuk menjadi kebanggan ayah sama ibu, kamu nggak perlu jadi sosok orang lain.. kamu nggak harus jadi kayak kakak atau jadi siapapun. Manusia, bakat dan keberuntungan itu udah satu paket.” “Ya ampun! kata-kata Albert disekolah tadi!” “Masing-masing manusia punya bakat dan impian masing-masing. Dan kamu! Kamu punya bakat dan juga mimpi sayang.. kamu harus punya impian yang luar biasa. Pernah dengar lirik lagu “Hidup Berawal dari Mimpi nggak?” tanya kak rendi.


Aku mengangguk..


“nah, itu dia. Hidup, kalau nggak disertai dengan mimpi itu percuma. Ibaratkan hape tanpa baterai, begitu hidup manusia tanpa mimpi. kamu punya hapenya. Tapi percuma kan kalau baterainya nggak ada? Nggak berfungsi dan gak akan terpakai.”


aku nggak ngerti apa maksud kak rendi. Memang benar, aku terlalu bodoh!


Kak rendi tersenyum, “sama yang kayak kakak bilang tadi. Nggak ada gunanya kita hidup kalau kita nggak punya mimpi untuk dicapai. Gak berfungsi. Sebenarnya tujuan anak seusia kita ini hidup hanya untuk mengejar mimpi dan mengukir senyum bangga di bibir orang-orang yang kita sayang, terutama orang tua. Jadi Lun, kalau kamu nggak punya mimpi dan cuma mikir kalau hidup kamu itu nggak ada gunanya, gimana kamu mau ngebanggain ayah sama ibu?”


“.....”


“hidup itu proses Lun. Kita memulainya dari awal, menjalani setiap tahapnya dan kita berusaha menggapainya.”


aku melepaskan diriku dan pelukan kak rendi. Tampak kak rendi tersenyum manis kearahku.


“ya udah, kamu jangan sedih lagi ya sayang..” kata kak rendi sembari mengusap sisa-sisa air mata yang masih tersisa diwajahku. Aku semakin menyayangi orang ini. Aku kembali memeluknya..


kak rendi menyambutku hangat. “kamu seharusnya juga bisa menyukuri apa yang ada didalam diri kamu lun.. Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai macam alasan yang mungkin sulit untuk dicerna oleh logika manusia. Tapi Tuhan memang Esa. Setiap inci dari bagian tubuh kita ini diciptakan sempurna. Seturut dengan gambarnya..


Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan kak Rendi. “Thanks God untuk semua kebahagiaan yang belum sempat kusyukuri”

Berbulan-bulan setelah kejadian dikamarku tersebut, hubunganku dengan kak Rendi sudah jauh lebih membaik. Begitu juga hubunganku dengan ayah dan ibu. Saat ini, aku sudah bisa merasakan kasih sayang dari mereka. Yaah.. Meskipun kasih sayang yang ku dapatkan dari mereka nggak sebanding dengan kasih sayang mereka untuk Kak Rendi, tapi aku cukup bahagia walaupun hanya sekedar diperlakukan dan dianggap sebagai anak dikeluarga ini.


Hidupku sempurna. Sangat sempurna. Dengan Ayah dan Ibu yang saat ini sudah sedikit mendukungku. Dengan kak Rendi yang selalu menginspirasiku. Dan dengan memiliki seorang sahabat yang sangat peduli terhadapku. Ini hidup yang dulu selalu aku impikan. Dan kurasa.. aku sudah mencapai satu impian terbesarku.


Kak Rendilah yang berperan besar atas segala kebahagiaan yang kudapat saat ini. Kak Rendi juga yang menginspirasiku untuk menulis berbagai kisah yang WOW! Luar biasa.. Dia juga yang membantuku untuk mengirim sebagian dari tulisan-tulisanku ke beberapa penerbit. Memang tidak mudah. Bukuku sempat ditolak mentah-mentah oleh beberapa penerbit! Jalanku untuk menggapai apa yang impikan selama ini gak semudah yang pernah kubayangkan. Semua butuh proses. Semua butuh kesabaran. Dan semua butuh penantian. Tetapi disatu sisi, Tuhan memang benar-benar adil. Dia menjawab semua penantianku selama ini.


*****

Minggu pagi..
Aku tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti salah satu talk show yang bertemakan 'temu penulis muda berbakat'. Guess what?! Yeah! Beberapa minggu yang lalu, buku pertamaku berhasil diterima oleh salah satu penerbit yang cukup populer. Oh my God! I can't believe this! Dan hal yang lebih membuatku tidak percaya lagi.. Baru beberapa minggu di liris, bukuku sudah menjadi salah satu penghuni deretan buku terlaris. BEST SELLER!!! tentunya dengan nama Aluna Indah Fahrezi yang tertulis sebagai nama penulisnya dihalaman paling depan buku tersebut. Huaaaa! Aku nggak pernah nyangka sebelumnya kalau bakal ada buku yang menuliskan namaku sebagai pengarangnya.


Baik! Sudah selesai. Kemeja pink lengan penjang, celana jeans, sepatu teplek, rambut terikat rapi, dan tas selempangan yang biasanya selalu kubawa kemana-mana sudah melekat ditubuhku. “Huuhh!” aku menghela nafas sembari membayangkan apa yang akan terjadi disana nanti. Membayangkan bagaimana Ayah, Ibu, Kak Rendi dan Albert akan tersenyum bangga kepadaku.. Albert? Ya.. Albert yang waktu itu! Albert yang menghampiriku dan sok menasehatiku di kelas saat itu. Albertlah yang selama ini sudah menjadi sahabat baikku.


*****


Berhubung tempat acara itu tidak jauh dari rumahku, aku memutuskan untuk berjalan kaki kesana. Ayah, Ibu, kak rendi dan Albert sudah berangkat terlebih dahulu. Yah.. ntah kenapa aku tidak berniat untuk ikut berkendara bersama dengan mereka.


Aku menyusuri jalan sambil berdendang kecil.. hari ini cerah.. Rasanya kebahagiaanku lengkap melihat burung-burung juga ikut bernyanyi bersamaku. Tapi, mengapa aku merasakan ada sesuatu yang mengganjal? “Ah! Lupakan.. lupakan.. ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting seperti itu.” batinku..


Aku terus berjalan menuju tempat berlangsungnya acara temu-penulis tersebut. Nah! Itu dia tempatnya. Aku hanya tinggal menyebrangi jalan ini, lalu sampai disana. Huaaaa.. bau kebahagiaan sudah tercium sampai ke rongga hidungku..


Setelah memperhatikan kondisi jalan, aku menyeberang melintasi jalanan yang cukup lebar tersebut. Dengan langkah ringan, aku menyusuri jalanan berwarna hitam-putih itu. Namun tiba-tiba, aku melihat seorang anak kecil (tak jauh dariku) yang sedang berada di tengah-tengah jalan yang ingin ku seberangi. Dan dari arah yang berlawanan.. ada sebuah truk besar yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Dan.. dan supirnya mengantuk!! Ya! Aku bisa melihat supir kendaraan itu tidak terlalu memperhatikan jalan dengan jelas. Sesegera mungkin aku berlari, menyambar anak tadi dan membawanya ke tepi jalan. Berhasil! Anak itu selamat. Tapi sayang, aku tidak seberuntung anak itu. Bagian lutut sampai ke pergelangan kakiku tergilas oleh kendaraan tersebut. “Ya Tuhan, secepat inikah?” pikirku sambil terus menahan sakit yang kini menggerogoti setiap centi bagian tubuhku. Aku hanya bisa mendengar teriakan beberapa orang. Dan.. aku sempat melihat seorang wanita yang sedang berlari ke arahku. Ibu. Kesadaranku tidak berlangsung lama. Pandanganku mulai kabur.. kupejamkan mataku dan kesadaranku hilang..


*****


Kecelakaan tadi membawaku berada di salah satu Rumah Sakit yang berada disekitaran tempat temu-penulis yang “rencananya” akan ku datangi tadi.. aku kehilangan banyak darah. Aku tidak merasakan lagi kakiku menempel dibagian tubuhku. Benar, kakiku harus diamputasi karena kejadian tadi. Dan.. “auuu!” aku menyentuh kepalaku yang bocor akibat benturan yang sangat keras dibahu jalan yang merenggut kebahagiaan yang seharusnya ku miliki. Miris..


Aku mulai merasakan sakit yang begitu sangat dibagian kepalaku. Ku coba membuka mataku. Periih! Kabur! Sesekali aku mendengar isak tangis dari seorang wanita. Ibuku.. orang yang selama ini sangat ingin kubanggakan. Tapi kenyataan tak sejalan dengan harapan. Harapanku seketika musnah ketika aku sadar dengan keadaanku yang seperti ini.


“Ayah.” “Ibu.” “Kak Rendi.” “aa..albert.” ujarku sembari berusaha untuk menahan sakit yang sangat luar biasa dibagian belakang kepalaku.


Mereka semua merapat ke tempat aku berbaring saat ini. “Iya sayang.” jawab ibu. Iya, dia Ibuku. Air matanya.. Ya Tuhan, aku nggak sanggup melihat wanita ini menangis..


“A..anak ta..di selama..t kan bu?” ujarku sambil mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih kumiliki..


“Iya luna.. Iya.. Anak itu selamat..” Ibu sesunggukan.


Aku mencoba tersenyum, “Syukurlah..”


Ku pejamkan mataku sejenak. lalu beberapa detik kemudian kualihkan pandanganku ke Kak Rendi. Dia sosok penguatku. Sosok yang selalu menjadi inspirasiku. Sosok yang mampu mengubah jalan pikiranku tentang cara menggapai impian.. aku menoleh kearah Albert. Dia ini sahabat pertamaku. Orang yang juga sangat berperan untuk kebahagiaan yang sempat ku miliki. Dan aku.. aku menyayanginya.. ku arahkan lagi tatapanku kearah lelaki separo baya yang berdiri disisi kananku. Ayah. Ini dia orang yang telah memberikanku kehidupan. Lelaki yang sangat ku cintai lebih dari apapun. Dan yang terakhir, aku menoleh ke arah wanita yang sedari tadi menangis dipelukan kak rendi. Ibu. Aku bahagia karna telah dianggap anak olehnya. Bahagia karna sempat mendapatkan senyuman bangga dari bibirnya. Dan aku yakin, dia pasti sangat menyayangiku. Sama seperti aku menyayanginya.


Aku mencoba untuk kembali tersenyum, “Ayah.. Ibu.. Kak Rendi.. dan kamu Albert.”


“.....”


“Sepertinya waktuku bersama kalian sudah selesai.” aku terdiam dan kembali menutup mataku seraya menahan sakit. “Ya Tuhan! Sakiiiiit! Tunggu Tuhan, tunggu.. sebentar lagi.. aku mau bilang makasih sama mereka.” aku kembali membuka mataku. “Makasih untuk semua kebahagiaan yang masih sempat Luna terima dari kalian. Makasih udah ngajarin Luna banyak hal.. makasih karna udah ngajarin Luna apa itu hidup.” hening sejenak. “Ma.. Maaf kalau selama ini Luna belum sepenuhnya buat kalian bangga sama Luna. Maaf karena Luna sering buat kalian jengkel sama Luna. Maaf karna Luna sering nggak dengerin apa yang kalian bilang dan malah mengabaikannya. Maaf karena Luna keras kepala.. Lu.. luna sa..sayang banget sa..ma kali..iian..” kututup kalimatku. Kemudiaaaan..


TIIIIIIT! Alat pendeteksi jantung itu berbunyi datar. Tangis ketiga orang yang sangat ku sayangi tadi pecah seketika..


*****


Aku berdiri mematung disudut ruangan tempat dimana aku menghembuskan nafas terakhirku itu. Pakaian yang kukenakan pun sudah berubah. Semua serba putih. Ya, aku mengerti ini. Aku hanya menatap orang-orang yang kusayangi itu sambil tersenyum.


“Ayah, Ibu.. Luna udah buat kalian bangga kan?” Ujarku sendiri sambil tersenyum. Masih disudut ruangan itu.


“Luna senang bisa pergi dengan tenang setelah membanggakan Ayah sama Ibu. Yah, walaupun Luna nggak bisa ngelakuin hal yang sama seperti apa yang udah dilakuin Kak Rendi buat Ayah sama Ibu.. Makasih udah jadi orangtua yang bisa bikin Luna jadi seperti ini. Kalian yang ngajarin Luna arti kebahagiaan. Dan Luna benar-benar sadar. Ini dia kebahagiaan abadi yang selama ini Luna tunggu.”


“Albert.. thanks karna udah mau jadi suppoter terbesar dalam hidupku. Sekarang aku ngerti kenapa waktu itu kamu bilang “ coba saja.. sebelum semua terlambat”. Ini dia jawabannya. Tapi kamu udah liatkan sekarang? Aku nggak terlambat buat ngebahagiain orang-orang yang aku sayang, termasuk kamu.”


“Kak Rendi.. aku nggak tau bagaimana jadinya kalau ditempatku nanti aku nggak bisa bertemu dengan orang seperti kakak.” ujarku tersenyum. Ya Tuhan, aku benar-benar nggak sanggup meninggalkan orang ini!! “makasih ya kak, karna udah ngajarin Luna cara untuk ngebuat ayah sama ibu bangga sama Luna.. Makasih juga karna kakak udah ngasih aku inspirasi terhebat yang orang lain nggak punya. Makasih karna udah numbuhin semangat dan rasa percaya diri Luna untuk bisa berkarya seperti ini. Sekarang Luna udah tau arti kebahagiaan yang sebenarnya. Ini impian terakhir Luna, dan sekarang Luna udah benar-benar mendapatkannya. Makasi kak..”lanjutku tersenyum bahagia. Benar-benar bahagia.


“kalian baik-baik ya disini.. Luna sayang kalian lebih dari apapun.” kataku seraya pergi menjauh dari mereka. Aku berjalan. Jauh menuju tempat dimana akan kutemukan kebahagiaanku yang sesungguhnya.


-THE END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar