Selasa, 19 Mei 2015

Beberapa Puisi di Riau Pos, 17 Mei 2015

Bermain Gitar

/1/
sebelum benar-benar terlarut oleh malam
ia pantik api, membakar berkas-berkas
yang tertata rapi di kehidupan lampau.

“sunyi ini, bercangkir-cangkir kopi
serta derau gerimis yang meracau!”

tidak ada penyesalan, katanya tak lama
menjinjing gitar dan  meningkap jendela
berembun. desau angin seolah menangkap
hangat tubuhnya, membiarkan sekujurnya
menggogoh, seumpama kamar itu.

/2/
gitar tetap dimainkan, tapi ia masih bingung
adakah chord yang mampu melengkapi
kekalutan hatinya? melengkapi malam yang
terlanjur basah,  membuat tubuhnya bersuhu
rendah, dan mengidap penyakit parah.

/3/
matanya serupa jendela malam ini. lembab dan
begitu rabun. ia seperti melihat, seorang wanita
dengan lekuk tubuh dan wajah yang sangat ia
kenali. jika ia sendiri, apa semata halusinasi?

/4/
pada petikan pertama, nada begitu sumbang. di
kepalanya telah hilang sebercak ingatan. ia coba
mengingat, masa silam paling manis, kisah yang
membuatnya pangling, hatinya luruh teriris.

seorang gadis pernah mengesahkan:
lagu-lagu romantis semata pemanis bagi kelengangan.
kenalilah dirimu dari senandung paling mendung.
kenanilah, mendung itu, langit-langit matamu dan yang menadah hujan tak berkesudahan.
hujan itu penuh rahasia, di antara riciknya, adakah yang kau tangkap?

sememang ia langit, musim akan terus basah
di sebalik pintu orang-orang akan berkeluh-kesah
tetapi bagi yang lemah syahwatnya akan berlari
menari-nari dalam irama hujan yang acak.

/5/
pada petikan kedua ia seperti menemui kembali
jati dirinya. berdenting nyaring senar gitar, semakin
nanar matanya berbinar. tetapi ia tetap ragu, seakan
masih ada yang tertinggal di masa lalu, dan sangat
ingin ia bawa.

malam semakin larut. jika kali ini listrik mati, tentulah
ia takut. akan ada banyak kenangan yang menerang-
temarang, yang bakal menguji syahwatnya, sekali lagi.

/6/
ia membayangkan, bagaimana perasaan kura-kura
 terjebak di kabin sampan, atau katak yang terkurung
dalam tempurung. ia merasa—dirinya—seumpama
 burung dalam jeruji besi, namun tidak merasa dilindungi.

/7/
di petikan selanjutnya ia mulai terbawa suasana. ada
yang kembali hidup dalam dadanya. rasa itu, kian
menumbuh dan bertambah seiring petikan-petikan
yang diguratkan.

/8/
kini, setiap kali bersedih, ia ambil gitar dan mengulangi kesakitan itu.

Pekanbaru, 2014.



Amnesia

Adalah duka teramat panjang ketika kau terjaga
sembari meraba wajah sendiri. Di mana
letak luka kering, kita coba tanggalkan
tukaknya. Terjejak jua kulit,
terkelupak rasa sakit

Malam legam. Listrik padam seolah menyalakan
kenangan, tentang bau obat nyamuk,
serta dengungnya yang
sesekali kita tepuk

Ingatkah engkau, di Anjungan, ricik gerimis
yang kita hitung, puisi-puisi dini nan
kontan keluar dari bibirku, belum
jua mampu menggenapi identitas
yang hilang, dari kota ini!

Pekanbaru, 2014.



Menunggu Pagi

Sebentar lagi pagi. Aku tahu kau masih
terlelap dan dipenuhi mimpi. Di sini,
malam seolah mengancam, dengan
jarum sunyi; merajut maut

Kau tahu, tadi malam, langit meminjam
cahayamu. Berkali-kali aku mengusap mata
kusaksikan, pepohonan seumpama gaun
yang terkebas angin

Seorang muda melintas. Tangannya gemetar
tubuhnya canggung. Raut wajahnya seolah
berkisah, ada langit lain yang tengah bersedih
kemudian kosong, hingga pagi tiba,
dengan ingatan baru.

Pekanbaru, 2014.


Dare Devil

Dari belakang muncul cahaya, memanjang
dan menantang matahari pukul sebelas. Membesar
dan melebar. Kaukah itu, Buldozer? Maka
menyautlah dengan lantang, sebelum tongkat
tirusku menjadi senjata yang bakal membelah senja.

Aku datang dari lobang hitam. Barangkali
aku dewa atau polisi negara. Sementara
sekumpulan kau semata pemuda renta
penunggu masa tua.
Rajawali dan elang adalah muridku. Mataku
tembus pandang. Aku bisa melihatmu telanjang
hingga tulang. Tapi sungguh, tak ingin aku angkuh
tersebab aku bukan pembunuh.

Dengan sisa nafas yang berdengus aku melompat
dan meraba ke segala tempat. Berjalan atau tiarap
bagiku sama saja—gelap.

Kausebut aku pahlawan debut tersebab membabat
para penjahat. Panggil aku sesukamu
agar denyar dalam dadamu tak menciut
biar nadimu tak henti-henti berdenyut.
Lalu sekumpulan kau yang lain menyumpahku
dengan pahit. Memata-mataiku sehingga sulit
bagiku mengenakan identitas palsu. Kemudian
kalian lupa, betapa akulah titisan Musa. Berkelit
dan meninggi
menembus langit.

Baiklah, pada akhirnya terlupalah aku
ketika jutaan kalian turut serta menjadi
pahlawan dengan beragam pakaian
membubuhkan tongkat ke ufuk pagi
yang kautakwil
umpama mati.

Pekanbaru, 2014.

Selasa, 05 Mei 2015

Kematian Zombigaret

Lomba Menulis Cerita Berhadiah Liburan ke Bali


i
        Aku tak menyangka hasilnya akan sebegini parah. Tak kukira, hanya dengan mengisap ‘barang’ yang tak asing bagi orang-orang itu, aku akan bertemu malaikat. Ya, aku bertemu malaikat pada setiap kali tarikannya. Sosoknya yang putih tak jelas itu, seakan ingin merenggut nyawaku.

ii
        Aku memang jarang keluar dari sepetak kamar ini. Keluar pun, paling hanya membeli keperluan perbekalan: makan, minum, dan ya, sebungkus rokok. Aku penulis. Aku menulis banyak hal, dan dengan mengisap rokok aku mengepulkan semua kenangan untuk dituntaskan.

iii
        “Pola hidupmu kacau-balau. Hidup adalah juga pilihan. Jika ingin terus meregang nyawa, maka lebih baik kau tancapkan saja pisau ke dada!” Malaikat itu menyapa. Aku sering bertemu malaikat. Sudah kukatakan, ia selalu menampakkan diri pada setiap tarikan dan hembusan asap yang kuguratkan.

iv
         Tapi malaikat sangat terlambat. Aku telah dulu berpenyakitan. Tenggorokanku hancur. Paru-paruku bolong. Mulutku terbakar. Aku hidup yang mati. Aku bukti nyata dari awal mula kehancuran manusia.

v
        Aku menulis karena telah dibungkam. Dibungkam penderitaan. Aku telah dikutuk oleh bahan pabrikan itu. Berbatang-batang rokok yang nantinya akan menjelma nisan di atas kuburanku. Kini, aku mencanduinya. Kini akulah penderitaan itu!

vi
        “Jadi, kau betah dengan ini semua?” Malaikat itu tersenyum kecut. Tangguh juga ia, setelah sekian lama kuabaikan.
        “Kau. Hanya kau yang membuatku tak betah.”
      “Aku di sini untuk menolongmu. Tak kuasa aku menatapmu! Tubuh tirusmu, suara serakmu, batuk-batuk itu, adakah kau merasa nyaman dengan itu?”
        Kesal. Aku pun beranjak dari ranjang, membukakan pintu agar ia keluar.

vii
        “Jadi, Zombi itu benar-benar ada?”
        “Ada! Ia tinggal di kontrakan nomor 11!”
        “Hah?! Pengisi rumah kecil yang tak terurus itu? Apa betul ia Zombi?!”
        “Lebih parah! Bukan sekadar Zombi! Yang ini Zombi Garet!”

viii
        Orang-orang mulai gelisah. Mereka mulai takut melihatku, berpapasan denganku, dan segala kegiatan yang mendekatkanku dengan mereka. Aku dimusuhi. Rumahku dilempari. Aku pernah mendapat surat berisi: “Dunia  hanya untuk orang bernyawa, akhirat untuk orang mati. Kau, yang tak jelas keadaannya lebih baik bikin dunia sendiri!”
        Aku tak berhak hidup, kata mereka. Padahal malaikat selalu menyerukan satu jalan yang lurus padaku.
ix
         Akhir-akhir ini malaikat sudah jarang menemuiku. Aku tak tahu alasannya, mungkin ia kecewa dan pasrah lalu memilih bergabung dengan orang-orang yang menentangku. Tapi tak apa. Aku telah terbiasa kehilangan. Apalagi ia cuma malaikat tak jelas yang kerap menggangguku.

x
        “Kabarnya Zombi Garet di kontrakan nomor 11 sudah mati ya, Bu?”
        Wah, beneran tuh? Bagus deh, saya kira makhluk seperti dia akan hidup abadi. Hahaha..”
        “Iya, Bu. Bahkan Polisi sudah menjadikan rumah itu sebagai TKP. Menyelidiki modus kejadiannya!”
        Halah, paling juga bunuh diri! Ngapain dipikirin!
xi
        Aku akan mati. Kurasakan asap mulai merunggas kehidupanku. Aku serupa langit yang dipenuhi polusi. Kurasakan, maut itu, mulai memilin dadaku. Tak jarang aku terbatuk dan mengeluarkan darah. Tak jarang dadaku sesak dan sulit bernafas. Aku takut. Aku takut jika nantinya malaikat akan kehilanganku, dan ia takkan lagi menemui seseorang yang pantas dinasihati sepertiku.       

xii
        Selasa, 6 Mei 2015Malaikatku, adakah kau temukan catatan ini? Aku merindukanmu. Ternyata, rindu sangat menyakitkan, ya. Semoga kau tak merasa kehilangan atas ini. Aku tak pernah mati. Aku hanya dilahirkan kembali ke dunia selanjutnya, meski dengan cara yang tak kau sukai. Maafkan aku, di ambang kematianku saat ini, aku baru menyadari kau mencintaiku. Aku juga baru sadar rasa sebuah kehilangan.  Apakah kehilangan termasuk rasa cinta? Semoga kita bertemu di lain waktu.

***