Minggu, 13 Desember 2015

Aku Tak Menulis Puisi Malam Ini

Aku tidak menulis puisi malam ini. Hanya saja, pikiranku, entah mengapa dipenuhi banyak engkau. Pikiranku seperti lemari yang menyimpan berlembar-lembar pakaian yang sama. Dan aku tak menyangsikan itu. Aku memiliki seorang kenalan, seorang pria, yang sangat suka mengenakan baju dengan motif yang sama. Bukan. Dia bukan mengenakan baju yang sama, melainkan dia memiliki banyak sekali baju dengan motif serupa. Dan dia, dengan bangga tetap mendongak, tersenyum menantang hari. Nanti, ada saatnya akan kukenalkan padamu. 

Aku tidak menulis puisi bukan karena memikirkanmu, melainkan ada kegusaran ketika aku mencoba untuk menanggalkanmu dari pikiran. Itu berarti, aku menikmatinya. Aku menikmati setiap gambaran buram yang coba dijelaskan pikiranku. Aku pernah menonton sebuah film barat, yang telah aku lupakan judulnya. Seorang pria yang hidupnya terlunta-lunta oleh aktifitas-aktifitas kesehariannya, yang (mengutip sebuah puisi) ditunggang-pacunya sendiri. Dia, rupanya di tengah cerita mengidolakan seorang fotografer yang terkenal. Suatu hari mereka bertemu. Namun dia tidak sadar bahwa orang tua itu adalah si fotografer. Ah, baiklah, aku melupakan bagian selanjutnya. 

Aku tidak menulis puisi malam ini, oleh karena itu aku menulis ini. Aku menulis ini, karena sedang tidak berbahagia. Aku tidak bahagia, karena sungguh, aku jenuh oleh puisi-puisi yang kurangkai tentangmu, tetapi tak pernah untukmu. 

Aku tidak menulis puisi malam ini karena aku sedang belajar berkata-kata, berlisan lidah. Aku ingin membacakanmu sebuah puisi, atau mungkin mengajakmu kencan dan makan siang. 

Kamis, 10 Desember 2015

Telepon Genggam dan Sebuah Jawaban

Malam kemarin, aku memutuskan keluar sebentar dan mencari tempat untuk duduk, memesan kopi, merokok--mungkin juga akan menulis puisi. Kamis memang tak pernah terkesan baik untukku. Ia selalu tampil dengan kebiasaan-kebiasaan yang tidak kusukai. Seperti kamis kemarin. Aku bangun siang sekali. Jam 13.00. Sebagai lelaki, tentu, bangun siang adalah sebuah kegagalan mencapai hidup. Atau setidaknya memicu pandangan orang-orang ke arah sana. Aku mandi, mengenakan pakaian dan mengecek telepon genggam. Tak ada apa-apa, selain pemberitahuan masa berlaku kartu sim akan segera habis. 

***

Aku berhenti di sebuah kafe di pinggir jalan. Beberapa kendaraan telah terparkir rapi. Kumasuki pintu, lalu mencari tempat paling pojok, tempat di mana aku tidak akan diperhatikan, namun bisa melihat seisi ruang ini. 

"Meja nomor 21 ya, mas," ucap seorang perempuan dengan setelan serba hitam, berkerudung putih itu. Ia wanita yang cantik, sebenarnya, jika lebih banyak tersenyum dan menyembulkan gigi gingsulnya.

Di meja itu aku membuka tas dan mengeluarkan telepon genggam, sebuah buku puisi, dan earphone, menyalakan lagu, lalu mulai berpura-pura membaca dalam hati. Aku selalu seperti itu. Mengeluarkan buku, namun hanya semata kamuflase. Kau tahu, sendirian dan tampak bingung di muka umum sungguh bukanlah hal yang baik. Mataku merayapi dinding, meja-meja lain, panggung, kasir dan pintu keluar-masuk. Sesekali juga mengintai langkah yang mengarah toilet. 

Seseorang mendekatiku, dengan nampan dan secangkir kopi di atasnya. Namun bukan perempuan yang tadi. Yang satu ini, tidak semanis ia, namun lebih ramah dan murah senyum. 

"Bawa saja gulanya, aku tidak menggunakannya," 
"Mas suka kopi pahit?"
"Tentu tidak,"
"Loh, terus?"
"Aku takut, jika kopi ini manis, nanti akan cepat habis,"

Ia pun tertawa, dan aku bingung. Apakah saat ini, kejujuran adalah juga lelucon? 

Aku kembali memegang buku, dan menegangkan otot mataku. Ke kiri, ke kanan. Sunyi. Meja dipenuhi pesanan dan cahaya kilat. Aku melihat mereka, orang-orang itu berpose, lalu sibuk mengabadikannya ke sebuah foto, tanpa sadar telah mematikan keadaan. Bukankah itu menyedihkan? Kau tahu, aku bukanlah seseorang yang lihai berkata-kata. Atau lebih tepatnya, tak gampang untukku melisankan kata-kata, apalagi membuatnya menjadi sebuah cerita. Itulah yang membuatku urung menemuimu. Tentu jika nantinya kita berkencan, kau juga akan seperti itu: merunyamkan sunyi, lalu mematikan aku. 

Maka biarlah. Biarkan aku tetap di sini. Melihatmu dari jauh, dan membayangkan pelbagai keadaan-kegiatan yang tak akan pernah kita jalani itu. Biarkan aku di sini, seperti aku membiarkan hatiku patah, hanya karena tak ingin dikalahkan oleh telepon genggammu itu.

Rabu, 09 Desember 2015

Beberapa Puisi di Indopos, 5 Desember 2015

Tukang Tato

Sambil kupahatkan daun-daun ke kulitmu, engkau berteriak
laik guntur mengulur kilat, jatuh ke ranah basah
yang kuning dan pernah kering

Silau oleh kilat itu, mataku mengedip lebih cepat
dari biasanya. Namun tetap, yang jarang terjadi
akan mati bila bersihadap dengan wajahmu
nan kugandrungi

Engkau membuka baju, menyerahkan sisanya untuk
kujejaki. Membelit tinta panas di kulit hingga burit
hingga engkau menjerit
merasa sakit

Jantungku bergidik seketika merasa pekik yang
kau lontar terlalu berderu membungkam ricik
gerimis, mencuri
hangat tubuhmu

Pekanbaru, 2014.


Mendung

Wajah zaman lindap. Dalam kelambu matahari langit mendengkur
di matamu yang menjatuhkan putik-putik
ada yang bersemayam. Seperti gelap. Atau mungkin rahasia
tentang asap. Membentang di kelapangan kota
hutan terbakar. Angin pengap berkelindan saat
penat berkarat di tubuh kita

Jika di atas langit masih ada langit, maka doa-doa tak ‘kan pernah sampai
dan dengan tujuan tak menentu, adakah yang menangkapnya?
Sebab, musim yang kelabu ini kerap mengusik tidurku
yang tak juga menambat apa pun.

Langit di sini, selalu hanya mendung
namun tak mampu menghujan
langit di sini, barangkali hanya bisa bersedih
tersebab tak pernah mampu menangis

Daun-daun gugur jatuh menyentuh tanah
berbincang mengenai kematian dan warna tubuhnya 
nyaris membakar mata yang memandang dosa 
sebagai matang doa-doa

Tapi doa, ke manakah akan dihaturkan 
jika setiap hari
tuhan semakin ramai di sini?

Pasa Ibuah, 2015


Semula Hujan

Jalanan berdebar meregang kisut jantungnya. Hujan baru mekar
Putik-putiknya menyasar ke sulur dadamu yang nganga
penuh suka duka

Aku dengar, jam berdetak pada detik ke 21
tapi tak ada jam di sini, selain arloji yang
mengunyah segala bahasa

“Mungkin itu suara jantungku, yang baru
kau pahami maknanya,”

Kafe-kafe berkaki seribu melipat jarak
tapi alangkah jauhnya kita, melepit
lengan sembari menarikan jari 
di layar gawai, yang piawai 
menyembunyikan tikai

langit-langit temaram, dan hatiku yang rawan
tiba-tiba saja disesaki alunan musik yang melantun
tanpa ampun, menggetarkan ruangan
yang lebih dulu merasa resah dari siapa pun

Sudah redakah hujan di matamu, atau bibirmu 
yang mengatup telah menjelmakan batang agam, mengalirkan
kesedihanku, mengairkan parit-parit, got, tanah, dan vas bunga
atau ia malah beringsut, memasuki sumur-sumur, menapaki bilur
di tubuh gamangku.

Tak lama hujan reda, aku menemukan bayanganmu berlari
meninggalkan kafe.

Payakumbuh, 2015