Jumat, 23 Mei 2014

selamat ulang tahun, Adis.

22 Mei, 2014
 

Pagi di Pekanbaru sedang dilanda sendu
Embun-embun yang berguguran, darahnya (yang bening) bercucuran di jendela, dan
Mata seseorang yang masih terjaga
Matahari yang malu-malu, dan dedaun yang tersiram embun mempertegas kamis,
Yang dipenuhi gerimis
Namun tak lama setelah itu (tepatnya setelah hari mulai cerah dan gerimis mulai habis), pelangi
Bertandang melingkari langit, dan  wajah seorang perempuan
Yang (dengan kesimpulanku sendiri) sedang riang.

~Selamat ulang tahun, Adis. :)

Minggu, 18 Mei 2014

Kado Pemberian Ibu.



18 Mei, 2014—Hari minggu yang sendu, matahari diam-diam bersembunyi. Siang ini tak seterik biasanya, dan saya baru terjaga sebab ronda malam tadi. Weekend yang tak seperti biasanya, kali ini saya dikejutkan banyak hal. Seperti salah satu siaran televisi holiwood tentang bagaimana seorang pria drakula bersaing dengan pria serigala demi mendapatkan cinta seorang wanita. Diikuti kabar dari sepulangnya adik, bahwa kedua orang tua pergi ke klinik karena sakit. Ya, wajar saja. Pekanbaru adalah kota ekstrim dengan cuaca yang kerapkali berubah-ubah.

Lalu pekikan tetangga memecahkan sunyi, menggetarkan jendela dan mendesing ke sepasang kuping saya. Mulut ke mulut, ia mendapat kabar dari layar handphone genggamnya, memenangkan sebuah mobil avanza dari nomor yang bahkan belum terdaftar di kontak handphonenya. Saya tertawa, mengganti channel televisi yang dipenuhi semut dan menyesap kopi pertama hari ini. Tak lama setelah itu, gesekan ban mobil dan aspal pembuat ngilu menggetarkan gigi saya seperti jendela, dan saya harus beranjak dari posisi ternyaman yang telah lama saya rindukan, membuka pagar dan mengarungi mobil.

“Bang, mama lagi nggak enak badan. Kamu bisa buatkan mie instan atau semacamnya?”

saya mengangguk dan tersenyum dengan kecut. Betapa ibu tua ini telah lelah merawat keluarga hingga lupa merawat tubuhnya. Tak lama setelah itu, setelah kompor dimatikan da nada hawa hangat di sebuah mangkuk dengan sedikit aroma pembikin perut lapar, ibu menyesap wangi itu, dan memakannya dengan lahap.

“Bang, sini. Papa ingin memberikan sesuatu.”

Ucap seorang pria tua yang wajahnya tak lagi asing di tengah mengusai-ngusai isi almari dan mengambil sebuah sweater rajutan. Katanya, ini punya andungmu. Ayahnya ibu. Umurnya lebih ranum dari saya, tapi tetap terlihat gagah tan tak sedikitpun using. Saya tersenyum sembari mengenakannya. Sweater rajutan ini hangat. Sangat hangat. Saya seperti kembali ke masa lalu, berandai-andai ada di depan pria (yang dipanggil ayah oleh ibu) itu, dan dia memeluk saya.

“itu punya andungmu. Punya ayahnya ibu. Jangan kau rusak. Bahkan berniat untuk melakukannya pun, jangan. Itu satu-satunya baju peninggalannya yang dulu sering dipakai andungmu, dan yang sering ibu pakai jika pergi ke sekolah. Kau boleh memakainya dengan syarat menjaganya. Anggap saja itu adalah dia, dan kalian saling berpelukan.”