Kamis, 10 Desember 2015

Telepon Genggam dan Sebuah Jawaban

Malam kemarin, aku memutuskan keluar sebentar dan mencari tempat untuk duduk, memesan kopi, merokok--mungkin juga akan menulis puisi. Kamis memang tak pernah terkesan baik untukku. Ia selalu tampil dengan kebiasaan-kebiasaan yang tidak kusukai. Seperti kamis kemarin. Aku bangun siang sekali. Jam 13.00. Sebagai lelaki, tentu, bangun siang adalah sebuah kegagalan mencapai hidup. Atau setidaknya memicu pandangan orang-orang ke arah sana. Aku mandi, mengenakan pakaian dan mengecek telepon genggam. Tak ada apa-apa, selain pemberitahuan masa berlaku kartu sim akan segera habis. 

***

Aku berhenti di sebuah kafe di pinggir jalan. Beberapa kendaraan telah terparkir rapi. Kumasuki pintu, lalu mencari tempat paling pojok, tempat di mana aku tidak akan diperhatikan, namun bisa melihat seisi ruang ini. 

"Meja nomor 21 ya, mas," ucap seorang perempuan dengan setelan serba hitam, berkerudung putih itu. Ia wanita yang cantik, sebenarnya, jika lebih banyak tersenyum dan menyembulkan gigi gingsulnya.

Di meja itu aku membuka tas dan mengeluarkan telepon genggam, sebuah buku puisi, dan earphone, menyalakan lagu, lalu mulai berpura-pura membaca dalam hati. Aku selalu seperti itu. Mengeluarkan buku, namun hanya semata kamuflase. Kau tahu, sendirian dan tampak bingung di muka umum sungguh bukanlah hal yang baik. Mataku merayapi dinding, meja-meja lain, panggung, kasir dan pintu keluar-masuk. Sesekali juga mengintai langkah yang mengarah toilet. 

Seseorang mendekatiku, dengan nampan dan secangkir kopi di atasnya. Namun bukan perempuan yang tadi. Yang satu ini, tidak semanis ia, namun lebih ramah dan murah senyum. 

"Bawa saja gulanya, aku tidak menggunakannya," 
"Mas suka kopi pahit?"
"Tentu tidak,"
"Loh, terus?"
"Aku takut, jika kopi ini manis, nanti akan cepat habis,"

Ia pun tertawa, dan aku bingung. Apakah saat ini, kejujuran adalah juga lelucon? 

Aku kembali memegang buku, dan menegangkan otot mataku. Ke kiri, ke kanan. Sunyi. Meja dipenuhi pesanan dan cahaya kilat. Aku melihat mereka, orang-orang itu berpose, lalu sibuk mengabadikannya ke sebuah foto, tanpa sadar telah mematikan keadaan. Bukankah itu menyedihkan? Kau tahu, aku bukanlah seseorang yang lihai berkata-kata. Atau lebih tepatnya, tak gampang untukku melisankan kata-kata, apalagi membuatnya menjadi sebuah cerita. Itulah yang membuatku urung menemuimu. Tentu jika nantinya kita berkencan, kau juga akan seperti itu: merunyamkan sunyi, lalu mematikan aku. 

Maka biarlah. Biarkan aku tetap di sini. Melihatmu dari jauh, dan membayangkan pelbagai keadaan-kegiatan yang tak akan pernah kita jalani itu. Biarkan aku di sini, seperti aku membiarkan hatiku patah, hanya karena tak ingin dikalahkan oleh telepon genggammu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar