i
Aku tak menyangka hasilnya akan sebegini
parah. Tak kukira, hanya dengan mengisap ‘barang’ yang tak asing bagi orang-orang
itu, aku akan bertemu malaikat. Ya, aku bertemu malaikat pada setiap kali
tarikannya. Sosoknya yang putih tak jelas itu, seakan ingin merenggut nyawaku.
ii
Aku memang jarang keluar dari sepetak
kamar ini. Keluar pun, paling hanya membeli keperluan perbekalan: makan, minum,
dan ya, sebungkus rokok. Aku penulis. Aku menulis banyak hal, dan dengan mengisap
rokok aku mengepulkan semua kenangan untuk dituntaskan.
iii
“Pola hidupmu kacau-balau. Hidup adalah
juga pilihan. Jika ingin terus meregang nyawa, maka lebih baik kau tancapkan saja
pisau ke dada!” Malaikat itu menyapa. Aku sering bertemu malaikat. Sudah kukatakan,
ia selalu menampakkan diri pada setiap tarikan dan hembusan asap yang
kuguratkan.
iv
Tapi
malaikat sangat terlambat. Aku telah dulu berpenyakitan. Tenggorokanku hancur.
Paru-paruku bolong. Mulutku terbakar. Aku hidup yang mati. Aku bukti nyata dari
awal mula kehancuran manusia.
v
Aku menulis karena telah dibungkam. Dibungkam
penderitaan. Aku telah dikutuk oleh bahan pabrikan itu. Berbatang-batang rokok
yang nantinya akan menjelma nisan di atas kuburanku. Kini, aku mencanduinya. Kini
akulah penderitaan itu!
vi
“Jadi, kau betah dengan ini semua?”
Malaikat itu tersenyum kecut. Tangguh juga ia, setelah sekian lama kuabaikan.
“Kau. Hanya kau yang membuatku tak
betah.”
“Aku di sini untuk menolongmu. Tak kuasa
aku menatapmu! Tubuh tirusmu, suara serakmu, batuk-batuk itu, adakah kau merasa
nyaman dengan itu?”
Kesal. Aku pun beranjak dari ranjang, membukakan
pintu agar ia keluar.
vii
“Jadi, Zombi itu benar-benar ada?”
“Ada! Ia tinggal di kontrakan nomor 11!”
“Hah?! Pengisi rumah kecil yang tak
terurus itu? Apa betul ia Zombi?!”
“Lebih parah! Bukan sekadar Zombi! Yang
ini Zombi Garet!”
viii
Orang-orang mulai gelisah. Mereka mulai
takut melihatku, berpapasan denganku, dan segala kegiatan yang mendekatkanku
dengan mereka. Aku dimusuhi. Rumahku dilempari. Aku pernah mendapat surat
berisi: “Dunia hanya untuk orang bernyawa,
akhirat untuk orang mati. Kau, yang tak jelas keadaannya lebih baik bikin dunia
sendiri!”
Aku tak berhak hidup, kata mereka. Padahal
malaikat selalu menyerukan satu jalan yang lurus padaku.
ix
Akhir-akhir ini malaikat
sudah jarang menemuiku. Aku tak tahu alasannya, mungkin ia kecewa dan pasrah
lalu memilih bergabung dengan orang-orang yang menentangku. Tapi tak apa. Aku
telah terbiasa kehilangan. Apalagi ia cuma malaikat tak jelas yang kerap
menggangguku.
x
“Kabarnya Zombi Garet di kontrakan nomor
11 sudah mati ya, Bu?”
“Wah,
beneran tuh? Bagus deh, saya kira
makhluk seperti dia akan hidup abadi. Hahaha..”
“Iya,
Bu. Bahkan Polisi sudah menjadikan rumah itu sebagai TKP. Menyelidiki modus
kejadiannya!”
“Halah,
paling juga bunuh diri! Ngapain
dipikirin!”
xi
Aku
akan mati. Kurasakan asap mulai merunggas kehidupanku. Aku serupa langit yang
dipenuhi polusi. Kurasakan, maut itu, mulai memilin dadaku. Tak jarang aku
terbatuk dan mengeluarkan darah. Tak jarang dadaku sesak dan sulit bernafas. Aku
takut. Aku takut jika nantinya malaikat akan kehilanganku, dan ia takkan lagi menemui
seseorang yang pantas dinasihati sepertiku.
xii
Selasa, 6 Mei 2015—Malaikatku, adakah kau temukan catatan ini? Aku merindukanmu.
Ternyata, rindu sangat menyakitkan, ya.
Semoga kau tak merasa kehilangan atas ini. Aku tak pernah mati. Aku hanya
dilahirkan kembali ke dunia selanjutnya, meski dengan cara yang tak kau sukai. Maafkan
aku, di ambang kematianku saat ini, aku baru menyadari kau mencintaiku. Aku juga
baru sadar rasa sebuah kehilangan. Apakah
kehilangan termasuk rasa cinta? Semoga kita bertemu di lain waktu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar