Sabtu, 26 November 2011

Ayah, Ibu.. Luna udah buat kalian bangga kan?

Ini cerita tentang bagaimana menyukuri kehidupan.. tentang bagaimana mencapai impian dan tentang bagaimana proses dari kehidupan itu sendiri. Hidup tanpa impian.. apa bisa?


*****

“ Hal yang paling berbahaya dalam hidup ini adalah angan-angan yang menjadi kenyataan karena tidak ada lagi yang bisa diimpikan ” - Michael Ende..

Aku tertegun seraya menutup novel karangan Windhy Puspitasari yang baru saja selesai kubaca. Kalimat terakhir penutup cerita novel itu sukses bernaung di rongga otakku. Mimpi. Selama hidupku aku tidak mempunyai mimpi apapun. Aku hanya menjalani hidup sesederhana mungkin, menjalani hidup dengan caraku, menjalani hidup dengan santai tanpa mau tau kemana sebenarnya akan kuletakkan sisa hidupku nantinya.

Tapi kalau boleh jujur, sebenarnya hidupku tidak sedramatis seperti apa yang kuceritakan tadi. Dulu, aku mempunyai sebuah mimpi. Tapi itu dulu, dan bukan menjadi hal yang penting saat ini. Percuma saja aku memiliki impian. Toh, aku hanya seorang gadis yang tidak memiliki bakat dibidang apapun, seorang gadis bodoh dan seorang gadis yang terasingkan. Begitu hari ini, esok dan sampai kapanpun. Tidak akan pernah berubah.

*****

Perkenalkan, namaku Aluna Indah Fahrezi. Cukup dengan menyebut “LUNA”, aku akan menatap kearahmu dan bertanya, “ada apa memanggilku?”. Aku bungsu dari 2 bersaudara. Aku tinggal bersama Ayah, Ibu dan Kakak Lelakiku. 17 tahun aku hidup bersama keluarga ini. Bersama Ayah dan Ibu yang selalu membanding-bandingkanku dengan kakakku, kak Rendi. Salah satu mahasiswa penyandang beasiswa di Universitas Negeri terbaik di Indonesia. Calon Dokter Muda kebanggan Ayah dan Ibu.

Luna. Ya! Aku. Selalu terasingkan, selalu menjadi pembanding atas kehebatan kakak tertuaku, dan tidak pernah membuat bangga Ayah dan Ibu. Alur kehidupanku hanya seperti itu. Menyedihkan. But, who's care about my pain? No one right? Yeah, I guess!

*****

Senin, selepas Uparaca bendera. Pelajaran pertama hari ini adalah BP/BK. Pelajaran yang sangat ku benci. Tapi sebenarnya, aku membenci semua pelajaran (kecuali bahasa indonesia, karena aku belajar banyak disina), tapi untuk pelajaran BK, aku membencinya lebih dari aku membenci pelajaran yang lain.

Tak lama, seorang pria berbadan tegap, berkumis tebal dan berwajah agak sedikit tidak bersahabat memasuki ruang kelas tempatku belajar, XII IPA 3. Dia Pak Deni, guru BK ku. Seperti biasa, setelah berdoa dan mengucap salam, Pak Deni langsung memberikan materi pelajaran yang selalu saja sama setiap pertemuan. “ Rencana Setamat SMA”. Aaaah! I do hate this part!

Pak deni mulai menanyai masing-masing siswa, “Kemana kamu akan melanjutkan studymu?”. Aku paling benci bagian ini. Aku hanya mengunyah-mengunyah permen karet tanpa memperhatikan Pak Deni sedikitpun.

“Okee, Aluna! Saya mau menagih jawaban yang kamu janjikan kepada saya minggu lalu.” Ujar Pak Deni yang membuatku agak sedikit tersentak.

“Eh, jawaban atas pertanyaan apa pak?” jawabku kikuk.

“Kemana kamu akan melanjutkan study kamu setamat SMA?”

Aku memutar-mutar bola mataku. Pertanyaan itu lagi. Tanpa harus bersusah-susah berpikir panjang, aku menjawab pertanyaan tadi dengan jawaban yang biasa ku lontarkan untuk setiap orang yang menanyaiku hal tersebut, “Kemana Tuhan akan meletakkan saya saja Pak.” ujarku santai. Sama sekali tidak logis.

Pak Deni geleng-geleng mendengar jawabanku. Mungkin ia sudah jengah mendengarnya. “Aluna... Alunaa... kamu i.....”

“Maaf Pak, panggil saya Luna. L-U-N-A. Bukan Aluna.” sanggahku memotong perkataan bapak tua itu. Aku tidak suka dipanggil Aluna. Sampai kapanpun!

“Okee Luna!” tutur Pak Deni tegas.”Kamu ini sudah kelas XII. Seharusnya kamu sudah menentukan kemana kamu akan melanjutkan study kamu nantinya. Seharusnya kamu mencontoh kakakmu, Rendi. Dia terkenal karena prestasinya. Siapa yang tidak kenal dia?! Tamatan sekolah ini yang menjadi satu-satunya penyandang beasiswa terbesar di Fakultas Kedokteran. Dia itu blaaa bla blaaa.”

Aku tidak terlalu mendengar ocehan si lelaki tua tadi. Aku hanya memutar-mutar bola mataku seraya mengunyah permen karet yang sedari tadi masih berada di mulutku. Lagi-lagi aku harus menjadi pembanding atas prestasi kakak. Lagi-lagi aku harus disudutkan didepan umum. Lagi-lagi aku harus merasa menjadi orang yang paling tidak berguna yang pernah dilahirkan Ibu. Sedih? Pasti! Tapi perasaan itu hanya kurasakan di awal, awal pertama saat aku diperlakukan seperti itu. Untuk saat ini? Yah, abaikan saja mereka bersama ocehan tidak bergunanya itu. Aku sudah terbiasa.

*****

Jam istirahat..
Saat-saat yang paling menyenangkan menurutku. Disaat semua murid mulai keluar dari kelas, dan hanya aku yang menikmati ruang kelasku sendirian. Sendirian! Memang seperti ini dan memang sudah seharusnya seperti ini. Aku tidak mempunyai satu orangpun sahabat. Semua orang menjauhiku. Semua orang mengucilkanku. Ntah, aku juga tidak tau alasan yang tepat mengapa mereka menjauhiku. Tapi ya sudahlah, aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. No one care.

Aku selalu menyukai keadaan kelas yang seperti ini. Sepi, sunyi dan tenang. Disaat- saat seperti inilah inspirasiku untuk menulis muncul. Aku suka menulis. Mengembangkan khayalan dan halusinasi yang kupunya kedalam tulisan. Tidak jarang aku menuliskan keadaanku yang berbanding terbalik dengan kenyataanku saat ini. Aku mencintai hobiku ini. Dari sini aku mendapatkan kebahagiaan hidup yang selama ini ku impikan. Walau hanya impian.

Aku mulai menuangkan pikiranku. Membayangkan ide apa yang akan ku tuangkan kedalam karyaku kali ini. Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekati ruang kelasku. Sesosok pria jangkung, berkulit putih, berwajah teduh, mengenakan Hand Band putih dan sebuah bola basket ditangannya memasuki kelasku. Ooh Albert. Cowok campuran Indo-Belanda yang menjabat sebagai kapten basket cowok disekolah ini. Pujaan hampir seluruh siswi disekolah. Kecuali aku, karna aku cukup sadar diri.

Albert menatap seisi kelas, sementara aku hanya berpura-pura tidak menyadari kehadirannya. Aku tau saat ini ia sedang menatapku. Aku menatap balik kearahnya. Sepintas kemudian ia berjalan ke arahku. “mau apa orang ini!” batinku.

“hai Luna..” sapanya sambil tersenyum hangat.

Aku menatapnya dingin. “ada apa?”

“gak ada. Aku cuma pengen nyapa kamu aja.” jeda beberapa detik. “aku perhatiin, kamu suka nulis narasi ya Lun?” tanyanya sambil melihat kertas yang tadinya kutulis lalu duduk disampingku.”

apa-apaan orang ini! Siapa yang mengizinkannya duduk disebelahku?!” aku hanya diam. Tidak menjawab..

“Aku sering baca tulisan-tulisan kamu dimading. Dan aku pikir, cukup bagus. Kamu punya bakat ngeluarin ide-ide yang ada didalam pikiran kamu.”

“Pujian?” jawabku sinis tanpa mengalihkan pandanganku dari kertas yang sedang kutulis.

Albert tergelak. Mungkin baru aku yang menanggapinya dingin seperti ini. “iya Lun.. Itu pujian.”

“thanks.”

“hehe iya sama-sama. Eh, ngomong-ngomong lun. Kamu mau jadi penulis yaaa?” tutur Albert.

Aku tertegun. Mengalihkan pendanganku kearahnya lalu kembali menatap kertas-kertas yang kutulis. “aku nggak punya bakat untuk menjadi penulis. Bahkan untuk membayangkan menjadi seorang penulis pun aku nggak punya bakat.”

“Lhoo? Siapa bilang lamu nggak punya bakat? Kamu punya bakat kok Lun. Tulisan kamu juga bagus. Kenapa kamu nggak coba untuk ngirim tulisan-tulisan kamu ke redaksi majalah atau semacamnya gitu? Itung-itung permulaan. Gak ada salahnyakan buat nyoba?” jelas Albert.

ada apa dengan orang ini? Mengapa ia begitu mendukungku?” benakku. “Aku sama sekali tidak memiliki kemampuan dibidang apapun. Jadi percuma saja. Hanya membuang-buang waktu.

Albert kaget lalu sepintas kemudian tersenyum penuh arti. “Luna.. manusia, bakat dan keberuntungan itu satu paket. Setiap orang terlahir dengan bakat-bakat unik yang ia miliki. Aku, kamu, mereka, bahkan orang yang terguncang saja jiwanya memiliki bakat dan mimpi. Pembedanya hanya terletak pada bidang yang diminati masing-masing orang saja. Contohnya, aku sama kamu. Kamu punya bakat dibidang tulis-menulis dan aku berbakat dibidang olahraga, terutama basket. Inilah bakat kita Lun. Mulai dari menyukai hal tersebut, mencoba mempraktekkannya dan lama-lama menjadi sebuah kecintaan atau bahkan kebutuhan.”
Aku hanya bisa melongo mendengar perkataan Albert. Pantas saja banyak orang yang mengagumi sosok Albert. Rupanya selain tampan, multitalent, ternyata orang ini juga sangat cerdas.

Aku mendesah. Meletakkan pena yang sedari tadi ku genggam lalu bersandar dikursi. “ngomong itu mudah. Kamu beruntung memiliki kehidupan seperti ini. Sementara aku?” aku tersenyum. Senyum letih. “mereka selalu menganggapku tidak berguna. Tidak bisa melakukan apa-apa.”

Albert menatapku dalam. “Menurutku tidak ada manusia yang tidak berguna. Masing-masing pasti memiliki sisi diri yang unik. Masing-masing pribadi itu berguna dan memiliki arti. Kalau kamu nggak berguna, terus buat apa dong Tuhan nyiptain kamu? Capek-capekin Dia aja kan?” Aku menatapnya, begitu juga dengannya. Benar apa yang dia ucapin. “Kamu itu berguna Lun, makanya Tuhan nyiptain kamu. Mungkin mereka nganggap kamu nggak berguna, yah biarin aja. Toh itu hanya bualan. Gak perlu terlalu didengarin. Mereka hanya penggangu yang nggak berguna.”

aku benar-benar terpesona mendengar perkataan Rendi. Orang ini benar-benar beruntung terlahir menjadi dirinya!!

Bel masuk berbunyi.

“Ya udah, jangan terlalu dipikirin apa kata orang Lun. Aku balik ketempat dudukku dulu ya.” Albert kembali menuju tempat duduknya setelah menerima anggukan dariku. Anak-anak lain masuk kekelas dan menatapku dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan. Lagi-lagi aku hanya memutar kedua bola mataku lalu mendelik kearah mereka. “APAAAA?!!!”

Jam pelajaran berlalu. Bel pulang sudah berbunyi pertanda jam pelajaran hari ini sudah berakhir.

“Akhirnya jam-jam yang penuh siksaan ini berakhir.” gumamku sambil memasukkan buku ke ransel. Murid-murid dari kelas lain sudah lalu lalang melewati kelasku. Aku menyapu pandanganku ke seisi kelas. Kosong. Tidak ada orang lain lagi dikelas ini selain aku daaaan.. Albert! Kenapa dia belum pulang?

Tanpa sadar, aku terus memperhatikan Albert. Beruntungnya dia, ia memiliki hidup yang sangat ingin aku miliki. Dia punya semua yang aku inginkan, terutama teman. Albert memiliki kehidupan yang 360 derajat berbeda dengan kehidupanku. Aku menghembus nafas berat sambil terus menatap orang yang duduk berjarak tiga bangku dari tempat dudukku itu. Tiba-tiba, ia menoleh dan mata kami bertemu disatu titik. Aku gelagapan dan mengalihkan pandanganku darinya. Seketika aku langsung berdiri, mengambil ranselku dan berjalan keluar kelas. Aku mau pu.....

“Lunaaa!” panggil seseorang dari arah belakang. Albert.

Aku kembali menatapnya dengan tatapan dingin. “apa?”

Albert tersenyum, “Sebaiknya kamu pikirin kata-kata aku tadi. Sebelum semuanya terlambat.”

sebelum semuanya terlambat? Maksudnya? Aneh!” batinku. Aku hanya mengabaikan kalimatnya tadi lalu terus berjalan tanpa sedikitpun mengacuhkan panggilannya. “dasar ANEH!”

*****

Seperti biasa, aku sampai dirumah tanpa ada yang menyambutku. Jauh berbeda kalau Kak Rendi yang baru pulang dari kampus. Setiap ia pulang, ia selalu disambut hangat oleh ibu. Dicium oleh Ibu. Hal yang selama 17 tahun belum pernah kurasakan sama sekali. Sungguh, benar-benar menyakitkan.

Setelah melepas sepatu sekolah, aku menuju kamar. Seperti biasa, aku ingin melanjutkan tulisanku. Satu-satunya aktivitas yang kusukai dirumah ini.

Tsseeert.. aku membuka pintu kamar. Mataku menjelajah memandangi kamar bernuansa pink lembut ini. Penuh dengan warna pink, warna kesukaanku. Tapii.. Haaa? Kak rendi! Ngapain dia dikamarku?! Dan laptop.. laptopkuuuuu!!!

“Kak Rendi!” aku memanggil kak Rendi dengan tatapan tidak senang. Aku memang nggak suka kalau ada orang lain yang menyelinap kekamarku tanpa izin..

Kak Rendi menoleh kearahku yang masih berdiri didepan pintu. Ia tersenyum sekilas, “eh.. kamu udah pulang sayang?” ujar kak Rendi.

“aaah! Udahlah jangan banyak basa-basi!” umpatku dalam hati. ”ngapain dikamarku?” tuturku dingin, seperti biasa.

“Ini, kakak lagi liat-liat isi laptop kamu. Kakak penasaran, apa sih yang kamu lakuin berjam-jam didepan layar laptop?! Kok betah amat gitu.. eh, rupanya kamu nulis yaa hehehe..” jawab si Calon DOKTER muda kebanggaan Ayah dan Ibu itu. Ciiiih!

Aku tidak berkata apa-apa. Aku hanya berjalan kearahnya lalu merebut laptopku dari genggamannya. “Aku nggak suka ada orang yang mengotak-atik laptopku.”

Kak Rendi tersenyum. Aku tau senyumnya itu senyum tulus untukku. Aku tau kakakku ini berhati baik. Tapi tetap saja! Orang ini yang sudah membuatku tidak pernah merasakan kasih sayang dari Ayah dan Ibu. Tapi sebenarnya, aku tidak benar-benar membenci kakak semata wayangku ini. Aku menyayanginya.. sangat menyayanginya..

“iya maaf.. maaf.. sadis amat sih kamu. Kakak kan cuma pengen tau aja Lun.”

“.....”

kak Rendi mendesah melihatku yang lebih tertarik untuk memeriksa laptop. “Kakak liat, kamu punya bakat di seni tulis-menulis Lun.”

aku tersentak, namun pandanganku tetap menuju ke layar laptop. “Jangan sok menghiburku.” ya! Aku memang selalu bersikap seperti ini kepada orang yang sedang berada disampingku ini.

Giliran kak Rendi yang tersentak mendengar kalimatku. “kakak nggak lagi menghibur kamu Lun. Kakak serius!”

“.....”

Jeda. “Kakak liat kamu punya bakat dibidang menulis. Tulisan kamu juga bagus dan cukup menginspirasi. Yah, setidaknya untuk kakak yang membacanya. “ ”.....” “Kamu mau kakak bantuin buat ngirim semua tulisan-tulisan kamu ke penerbit?”

aku menatap Kak Rendi, lalu segera mengalihkan padanganku darinya. “nggak usah. Makasih.”

“kenapa kamu nggak mau nyoba Lun? Siapa tau ada penerbit yang mau memuat karya kamu nantinya.”

Baik! Aku sudah muak mendengar semua ocehan orang ini.

“Bakat itu nggak boleh dipendam-pendam Lun.. kalau kamu punya bakat, ayo dong ditunjukin.” ujar kak rendi lagi..

hening. Aku menoleh sekilas kearah kak Rendi yang tampak seperti sedang berpikir. Mungkin ia sedang menyusun kata-kata yang ingin dikeluarkannya. “apa lagi yang ingin dikatakan orang ini!”

“Mungkin.. heem.. Mungkin dengan cara ini juga kamu bisa seperti kakak. Bisa membuat bangga Ayah dan Ibu.”

membanggakan Ayah dan Ibu?”. Hatiku terasa mendidih mendengar Kak Rendi melontarkan kalimat itu.

“mungkin dengan cara itu juga kamu...”

“STOOOP!!” Jeritku memotong kalimat kak Rendi. “sebenarnya kakak kesini mau ngapain sih? Mau mengejekku? Mau menertawakanku? Atau mau sok menjadi pahlawan bagiku haaa?” emosiku naik. “dengar! Aku nggak punya bakat dibidang apapun!!! Aku, Ayah, Ibu, kakak bahkan semua orang juga tau itu!” kali ini aku benar-benar tidak bisa membendung air mataku lagi.

“.....”

“aku nggak akan bisa jadi kayak kakak. Aku juga nggak akan pernah bisa jadi kebanggaan Ayah sama Ibu.” Ujarku terisak.. “Selamanya aku hanya akan menjadi pembanding untuk kehebatan kakak dimata Ayah dan Ibu. Gak lebih! Dan gak akan pernah lebih. Kakak pasti udah tau kan?! Iya kaaaan kak?! Jadi apa peduli kakak haaa? Apaaa?!!” jeritku tanpa bisa membendung perasaan tertekan yang selama ini selalu aku sembunyikan.

Kak rendi masih membiarkanku melepas semua perasaan yang ada dihatiku..

aku mendesah dan mengahapus air mataku sambil tersenyum kecut kearahnya. “huuuh (suara mendesah kebayangkan? *gak tau cara nulisnya gimana xD*). Percuma aku ngelakuin semua saran kakak tadi. Toh ayah sama ibu juga gak akan pernah menghargai apa yang aku lakuinkan?”


“.....”


“kakak beruntung.” ujarku sesunggukan. Perih, sampai aku tidak bisa mengontrol air mataku untuk tidak mengalir lagi. “kakak beruntung punya ayah dan ibu yang selalu sayang sama kakak, menjadi putra yang selalu mereka banggakan. Sementara aku? Aku bukan seperti kakak. Aku bukan penyandang beasiswa terbesar di negeri ini. Aku bukan siswa tamatan terbaik. Aku nggak punya MIMPI yang luar biasa kayak kakak. Boro-boro dibanggain. Melahirkanku saja mungkin sudah menjadi sebuah penyesalan untuk ibu.” air mataku semakin deras..


refleks, kak rendi langsung menarikku dan memelukku seerat-eratnya. Air mataku semakin tak mampu untuk dibendung. Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan kak Rendi. Kali pertama aku merasakan bagaimana rasanya dipeluk oleh sosok seorang kakak. Hangat. Sangat hangat.


Terdengar desahan nafas kak rendi. “Luna..” ujarnya lembut. “Untuk menjadi kebanggan ayah sama ibu, kamu nggak perlu jadi sosok orang lain.. kamu nggak harus jadi kayak kakak atau jadi siapapun. Manusia, bakat dan keberuntungan itu udah satu paket.” “Ya ampun! kata-kata Albert disekolah tadi!” “Masing-masing manusia punya bakat dan impian masing-masing. Dan kamu! Kamu punya bakat dan juga mimpi sayang.. kamu harus punya impian yang luar biasa. Pernah dengar lirik lagu “Hidup Berawal dari Mimpi nggak?” tanya kak rendi.


Aku mengangguk..


“nah, itu dia. Hidup, kalau nggak disertai dengan mimpi itu percuma. Ibaratkan hape tanpa baterai, begitu hidup manusia tanpa mimpi. kamu punya hapenya. Tapi percuma kan kalau baterainya nggak ada? Nggak berfungsi dan gak akan terpakai.”


aku nggak ngerti apa maksud kak rendi. Memang benar, aku terlalu bodoh!


Kak rendi tersenyum, “sama yang kayak kakak bilang tadi. Nggak ada gunanya kita hidup kalau kita nggak punya mimpi untuk dicapai. Gak berfungsi. Sebenarnya tujuan anak seusia kita ini hidup hanya untuk mengejar mimpi dan mengukir senyum bangga di bibir orang-orang yang kita sayang, terutama orang tua. Jadi Lun, kalau kamu nggak punya mimpi dan cuma mikir kalau hidup kamu itu nggak ada gunanya, gimana kamu mau ngebanggain ayah sama ibu?”


“.....”


“hidup itu proses Lun. Kita memulainya dari awal, menjalani setiap tahapnya dan kita berusaha menggapainya.”


aku melepaskan diriku dan pelukan kak rendi. Tampak kak rendi tersenyum manis kearahku.


“ya udah, kamu jangan sedih lagi ya sayang..” kata kak rendi sembari mengusap sisa-sisa air mata yang masih tersisa diwajahku. Aku semakin menyayangi orang ini. Aku kembali memeluknya..


kak rendi menyambutku hangat. “kamu seharusnya juga bisa menyukuri apa yang ada didalam diri kamu lun.. Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai macam alasan yang mungkin sulit untuk dicerna oleh logika manusia. Tapi Tuhan memang Esa. Setiap inci dari bagian tubuh kita ini diciptakan sempurna. Seturut dengan gambarnya..


Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan kak Rendi. “Thanks God untuk semua kebahagiaan yang belum sempat kusyukuri”

Berbulan-bulan setelah kejadian dikamarku tersebut, hubunganku dengan kak Rendi sudah jauh lebih membaik. Begitu juga hubunganku dengan ayah dan ibu. Saat ini, aku sudah bisa merasakan kasih sayang dari mereka. Yaah.. Meskipun kasih sayang yang ku dapatkan dari mereka nggak sebanding dengan kasih sayang mereka untuk Kak Rendi, tapi aku cukup bahagia walaupun hanya sekedar diperlakukan dan dianggap sebagai anak dikeluarga ini.


Hidupku sempurna. Sangat sempurna. Dengan Ayah dan Ibu yang saat ini sudah sedikit mendukungku. Dengan kak Rendi yang selalu menginspirasiku. Dan dengan memiliki seorang sahabat yang sangat peduli terhadapku. Ini hidup yang dulu selalu aku impikan. Dan kurasa.. aku sudah mencapai satu impian terbesarku.


Kak Rendilah yang berperan besar atas segala kebahagiaan yang kudapat saat ini. Kak Rendi juga yang menginspirasiku untuk menulis berbagai kisah yang WOW! Luar biasa.. Dia juga yang membantuku untuk mengirim sebagian dari tulisan-tulisanku ke beberapa penerbit. Memang tidak mudah. Bukuku sempat ditolak mentah-mentah oleh beberapa penerbit! Jalanku untuk menggapai apa yang impikan selama ini gak semudah yang pernah kubayangkan. Semua butuh proses. Semua butuh kesabaran. Dan semua butuh penantian. Tetapi disatu sisi, Tuhan memang benar-benar adil. Dia menjawab semua penantianku selama ini.


*****

Minggu pagi..
Aku tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti salah satu talk show yang bertemakan 'temu penulis muda berbakat'. Guess what?! Yeah! Beberapa minggu yang lalu, buku pertamaku berhasil diterima oleh salah satu penerbit yang cukup populer. Oh my God! I can't believe this! Dan hal yang lebih membuatku tidak percaya lagi.. Baru beberapa minggu di liris, bukuku sudah menjadi salah satu penghuni deretan buku terlaris. BEST SELLER!!! tentunya dengan nama Aluna Indah Fahrezi yang tertulis sebagai nama penulisnya dihalaman paling depan buku tersebut. Huaaaa! Aku nggak pernah nyangka sebelumnya kalau bakal ada buku yang menuliskan namaku sebagai pengarangnya.


Baik! Sudah selesai. Kemeja pink lengan penjang, celana jeans, sepatu teplek, rambut terikat rapi, dan tas selempangan yang biasanya selalu kubawa kemana-mana sudah melekat ditubuhku. “Huuhh!” aku menghela nafas sembari membayangkan apa yang akan terjadi disana nanti. Membayangkan bagaimana Ayah, Ibu, Kak Rendi dan Albert akan tersenyum bangga kepadaku.. Albert? Ya.. Albert yang waktu itu! Albert yang menghampiriku dan sok menasehatiku di kelas saat itu. Albertlah yang selama ini sudah menjadi sahabat baikku.


*****


Berhubung tempat acara itu tidak jauh dari rumahku, aku memutuskan untuk berjalan kaki kesana. Ayah, Ibu, kak rendi dan Albert sudah berangkat terlebih dahulu. Yah.. ntah kenapa aku tidak berniat untuk ikut berkendara bersama dengan mereka.


Aku menyusuri jalan sambil berdendang kecil.. hari ini cerah.. Rasanya kebahagiaanku lengkap melihat burung-burung juga ikut bernyanyi bersamaku. Tapi, mengapa aku merasakan ada sesuatu yang mengganjal? “Ah! Lupakan.. lupakan.. ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting seperti itu.” batinku..


Aku terus berjalan menuju tempat berlangsungnya acara temu-penulis tersebut. Nah! Itu dia tempatnya. Aku hanya tinggal menyebrangi jalan ini, lalu sampai disana. Huaaaa.. bau kebahagiaan sudah tercium sampai ke rongga hidungku..


Setelah memperhatikan kondisi jalan, aku menyeberang melintasi jalanan yang cukup lebar tersebut. Dengan langkah ringan, aku menyusuri jalanan berwarna hitam-putih itu. Namun tiba-tiba, aku melihat seorang anak kecil (tak jauh dariku) yang sedang berada di tengah-tengah jalan yang ingin ku seberangi. Dan dari arah yang berlawanan.. ada sebuah truk besar yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Dan.. dan supirnya mengantuk!! Ya! Aku bisa melihat supir kendaraan itu tidak terlalu memperhatikan jalan dengan jelas. Sesegera mungkin aku berlari, menyambar anak tadi dan membawanya ke tepi jalan. Berhasil! Anak itu selamat. Tapi sayang, aku tidak seberuntung anak itu. Bagian lutut sampai ke pergelangan kakiku tergilas oleh kendaraan tersebut. “Ya Tuhan, secepat inikah?” pikirku sambil terus menahan sakit yang kini menggerogoti setiap centi bagian tubuhku. Aku hanya bisa mendengar teriakan beberapa orang. Dan.. aku sempat melihat seorang wanita yang sedang berlari ke arahku. Ibu. Kesadaranku tidak berlangsung lama. Pandanganku mulai kabur.. kupejamkan mataku dan kesadaranku hilang..


*****


Kecelakaan tadi membawaku berada di salah satu Rumah Sakit yang berada disekitaran tempat temu-penulis yang “rencananya” akan ku datangi tadi.. aku kehilangan banyak darah. Aku tidak merasakan lagi kakiku menempel dibagian tubuhku. Benar, kakiku harus diamputasi karena kejadian tadi. Dan.. “auuu!” aku menyentuh kepalaku yang bocor akibat benturan yang sangat keras dibahu jalan yang merenggut kebahagiaan yang seharusnya ku miliki. Miris..


Aku mulai merasakan sakit yang begitu sangat dibagian kepalaku. Ku coba membuka mataku. Periih! Kabur! Sesekali aku mendengar isak tangis dari seorang wanita. Ibuku.. orang yang selama ini sangat ingin kubanggakan. Tapi kenyataan tak sejalan dengan harapan. Harapanku seketika musnah ketika aku sadar dengan keadaanku yang seperti ini.


“Ayah.” “Ibu.” “Kak Rendi.” “aa..albert.” ujarku sembari berusaha untuk menahan sakit yang sangat luar biasa dibagian belakang kepalaku.


Mereka semua merapat ke tempat aku berbaring saat ini. “Iya sayang.” jawab ibu. Iya, dia Ibuku. Air matanya.. Ya Tuhan, aku nggak sanggup melihat wanita ini menangis..


“A..anak ta..di selama..t kan bu?” ujarku sambil mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih kumiliki..


“Iya luna.. Iya.. Anak itu selamat..” Ibu sesunggukan.


Aku mencoba tersenyum, “Syukurlah..”


Ku pejamkan mataku sejenak. lalu beberapa detik kemudian kualihkan pandanganku ke Kak Rendi. Dia sosok penguatku. Sosok yang selalu menjadi inspirasiku. Sosok yang mampu mengubah jalan pikiranku tentang cara menggapai impian.. aku menoleh kearah Albert. Dia ini sahabat pertamaku. Orang yang juga sangat berperan untuk kebahagiaan yang sempat ku miliki. Dan aku.. aku menyayanginya.. ku arahkan lagi tatapanku kearah lelaki separo baya yang berdiri disisi kananku. Ayah. Ini dia orang yang telah memberikanku kehidupan. Lelaki yang sangat ku cintai lebih dari apapun. Dan yang terakhir, aku menoleh ke arah wanita yang sedari tadi menangis dipelukan kak rendi. Ibu. Aku bahagia karna telah dianggap anak olehnya. Bahagia karna sempat mendapatkan senyuman bangga dari bibirnya. Dan aku yakin, dia pasti sangat menyayangiku. Sama seperti aku menyayanginya.


Aku mencoba untuk kembali tersenyum, “Ayah.. Ibu.. Kak Rendi.. dan kamu Albert.”


“.....”


“Sepertinya waktuku bersama kalian sudah selesai.” aku terdiam dan kembali menutup mataku seraya menahan sakit. “Ya Tuhan! Sakiiiiit! Tunggu Tuhan, tunggu.. sebentar lagi.. aku mau bilang makasih sama mereka.” aku kembali membuka mataku. “Makasih untuk semua kebahagiaan yang masih sempat Luna terima dari kalian. Makasih udah ngajarin Luna banyak hal.. makasih karna udah ngajarin Luna apa itu hidup.” hening sejenak. “Ma.. Maaf kalau selama ini Luna belum sepenuhnya buat kalian bangga sama Luna. Maaf karena Luna sering buat kalian jengkel sama Luna. Maaf karna Luna sering nggak dengerin apa yang kalian bilang dan malah mengabaikannya. Maaf karena Luna keras kepala.. Lu.. luna sa..sayang banget sa..ma kali..iian..” kututup kalimatku. Kemudiaaaan..


TIIIIIIT! Alat pendeteksi jantung itu berbunyi datar. Tangis ketiga orang yang sangat ku sayangi tadi pecah seketika..


*****


Aku berdiri mematung disudut ruangan tempat dimana aku menghembuskan nafas terakhirku itu. Pakaian yang kukenakan pun sudah berubah. Semua serba putih. Ya, aku mengerti ini. Aku hanya menatap orang-orang yang kusayangi itu sambil tersenyum.


“Ayah, Ibu.. Luna udah buat kalian bangga kan?” Ujarku sendiri sambil tersenyum. Masih disudut ruangan itu.


“Luna senang bisa pergi dengan tenang setelah membanggakan Ayah sama Ibu. Yah, walaupun Luna nggak bisa ngelakuin hal yang sama seperti apa yang udah dilakuin Kak Rendi buat Ayah sama Ibu.. Makasih udah jadi orangtua yang bisa bikin Luna jadi seperti ini. Kalian yang ngajarin Luna arti kebahagiaan. Dan Luna benar-benar sadar. Ini dia kebahagiaan abadi yang selama ini Luna tunggu.”


“Albert.. thanks karna udah mau jadi suppoter terbesar dalam hidupku. Sekarang aku ngerti kenapa waktu itu kamu bilang “ coba saja.. sebelum semua terlambat”. Ini dia jawabannya. Tapi kamu udah liatkan sekarang? Aku nggak terlambat buat ngebahagiain orang-orang yang aku sayang, termasuk kamu.”


“Kak Rendi.. aku nggak tau bagaimana jadinya kalau ditempatku nanti aku nggak bisa bertemu dengan orang seperti kakak.” ujarku tersenyum. Ya Tuhan, aku benar-benar nggak sanggup meninggalkan orang ini!! “makasih ya kak, karna udah ngajarin Luna cara untuk ngebuat ayah sama ibu bangga sama Luna.. Makasih juga karna kakak udah ngasih aku inspirasi terhebat yang orang lain nggak punya. Makasih karna udah numbuhin semangat dan rasa percaya diri Luna untuk bisa berkarya seperti ini. Sekarang Luna udah tau arti kebahagiaan yang sebenarnya. Ini impian terakhir Luna, dan sekarang Luna udah benar-benar mendapatkannya. Makasi kak..”lanjutku tersenyum bahagia. Benar-benar bahagia.


“kalian baik-baik ya disini.. Luna sayang kalian lebih dari apapun.” kataku seraya pergi menjauh dari mereka. Aku berjalan. Jauh menuju tempat dimana akan kutemukan kebahagiaanku yang sesungguhnya.


-THE END-

Kamis, 24 November 2011

Gerimis senja

Gerimis..

Bagiku atau mungkin bagi beberapa jenis orang diluar sana, gerimis itu merupakan seni dengan ritme yang penuh keindahan.. Turun dengan sisi kelembutan yang mempesona.. Kesejukan khas yang walau sementara selalu meninggalkan kesan yang berbeda.. Dan hadir dengan cara yang -setidaknya menurutku- selalu menunjukkan gurat keistimewaan..



Aku selalu menyukai cara hadirnya. Aku suka sentuhan lembutnya tiap kali ia hadir. Aku bahagia mendengar gemerisik rintiknya. Aku menyukai bau khas yang selalu ia tebarkan. Aku suka caranya menggulir butir-butir bening yang selalu aku rindukan. Dan aku benar-benar mengagumi Dia yang luar biasa mampu menciptakan seni seindah ini.



Di kehidupanku, gerimis memberikan sumbangsih yang cukup tinggi untuk setiap kenangan yang aku miliki. Ibaratkan sebuah buku diary, gerimis merupakan sarana dimana aku mampu menceritakan segala bentuk dan jenis kejadian yang terjadi di hidupku. Aneh? Ya, aku tau kalian tengah berfikir seperti itu. Namun memang seperti itulah. Memang, gerimis itu tak selalu ada setiap aku membutuhkannya. Namun justru inilah yang membuatku selalu menginginkan dan menunggu datangnya gerimis. Ya, mungkin seperti aku yang juga tengah menanti seseorang.



Baik! Ini salahku.. Mengapa juga aku mengatakan aku sedang menantikan seseorang?!



Well! Ini cerita tentang cinta pertamaku. Aku mengenalnya, menganguminya, menyukainya dan mencintainya sampai saat ini. Tapi bodohnya, aku tidak berani mengungkapkaaa... ah! Jangankan untuk mengungkapkan, menyapanya saja aku tidak memiliki sedikitpun keberanian. “Haaaai” atau mungkin menyapanya dengan “Hellooo”.. Tidak! Tidak cukup berani. Bodoh!



***** -Flashback-



Suara petikan gitar yang sedari tadi dimainkan oleh seseorang di depan sana cukup membuatku terpesona. Alunannya indah tetapi cukup menyenggol sisi hati. Hatiku tentunya. Dia Darren. Darren Diandra Wijaya. Ya, si pemain gitar yang sedari tadi ku perhatikan di balik tirai jendela kamarku. Gemerisik gerimis tidak menghalangi pendengaranku terhadap alunan gitar yang dipetiknya. Bunyi benda bersenar enam dan berwarna biru (yang ku tau warna kesukaan si pemiliknya) tersebut memang selalu menemani soreku. Sama halnya dengan senja bernuansa gerimis yang berselimut awan orange kemerahan seperti saat ini.



Tsseeeert. Pintu kamarku terbuka. Mama.



“Kamu lagi mandangin gerimis lagi ya ra?” tanya mama seraya masuk dan kemudian duduk disampingku.



“Iya maa.” jawabku singkat. Mataku tak tertuju lagi kearah Darren. Malu ketauan mama. “Mama ngapain ke kamar Rara ma?”



Mama tersenyum, “Ini sayang, keluarga Darren ngundang kita buat makan malam dirumahnya. Sekalian mereka mau ngadain syukuran kecil-kecilan karena Darren mau ke Aussie.”



Kata-kata Aussie itu lagi! Dadaku sesak mendengar kata Aussie dan Darren.



“Kamu udah taukan kalau Darren mau lanjutin sekolahnya ke Aussie?” jeda sejenak. “kamu temanin mama ya raa?” ajak mama. Seperti biasa, bernada otoriter dan terkesan memaksa.



“Eh.. a..aku mau ngerjain.. ngg.. ngerjain tugas ma.” elakku yang tak yakin mama akan begitu saja menerimanya.



“ besokkan hari minggu raaa.”



“ tapi maaa,” aku masih saja mencoba. “tug...” belum sempat kalimat penolakanku selesai, mama sudah memotong..



“ntar kamu pakai dress yang mama beliin kemaren ya sayang. Dandan cantik-cantik. Jam 07.00 mama tunggu di ruang tamu. Sampai nanti sayang.” mama keluar kamar.



Cekleeek. Pintu tertutup.



aku mendesah nafas panjang sambil mengalihkan pandangan ke arah jendela, “Selalu saja begini. Otoriter. Diktator. Keputusan sepihak. Sewenang-wenang!” umpatku. “lagian ngapain juga aku harus dandan cantik-cantik, toh itu gak ngebuat Darren naksir aku kan?!”



Perih! Lagi-lagi aku bercerita kepada gerimis. Aku mengalihkan pandanganku kearah rumah Darren. Sosok itu rupanya sudah menghilang.



*****



“ Ayo dong ra dimakan.. itu masakan tante sendiri lhoo “ Ujar Ny. Wijaya itu kepadaku yang hanya ku balas dengan senyum sekilas.



Disinilah aku sekarang. Di kediaman keluarga Wijaya mengikuti suruhan mama. Menggunakan long dress bernuansa pink dengan bando berwarna senada yang menghiasi geraian rambut panjangku. Duduk tepat berhadapan dengan satu-satunya putra Wijaya di keluarga ini. Darren.. cinta pertamaku. Ah! Sudahlah.. dadaku terasa sesak bila harus mendengar dua kata itu..



mama dan keluarga darren ngobrol dengan suasana hangat. Sementara aku dan Darren hanya fokus pada makanan yang berada di depan meja kami masing-masing. Ingin sekali aku menyapa sosok ini, namun...



“ ren, ajak rara ngomong di taman belakang gih. Sekedar ngobrol atau apalah gitu” ujar mama darren tersenyum. Ntah apa arti guratan senyum itu, aku tidak mengerti. Yang jelasss...



“ ra, ketaman yuk?” kata Darren meng-iyakan kata-kata mamanya tadi.



“hee? Eh, a.. a.. ayok.”



*****



Suasana diluar masih gerimis.. aku mulai merasakan kesejukan dan.. baik, sedikit nuansa romantis disini.. bersama cinta pertamaku. Dan aku suka hal ini. Hal yang kurasa, aaaah! Not even in my wildest dream before deh..



hening sepersekian detik..



dua menit..



empat menit sebelas detik..



“ Eh, kamu suka gerimis ya ra?” tanya Darren dengan suara khasnya. Yang tentu dengan suksesnya membuatku melongo saking kagetnya ditanya oleh Darren.



Tersadar dari kebodohan sikapku, aku pun mencoba tenang dan menjawab, “ Iya, tau darimana?” tanyaku yang seperempat detik selanjutnya langsung mengumpat didalam hati. “aah! Bego! Pastilah Dirren tau dari mamanya. Dan mamanya pastilah tau dari ratu yang ada dirumahku. Ah! Pertanyaan gak cerdas!”



Wajar.. Ketertarikan seseorang pada makluk lainnya dapat mengakibatkan kebodohan yang selalu disesali kurang lebih beberapa detik setelahnya. Hubungi dokter bila kebodohan berlanjut-lanjut (?)



Ditanya seperti itu Darren tersenyum. Senyum yang menurutku memiliki tegangan mencapai 1.000.000 volt. (Gambaran : senyuman Christian Bautista :p)



“ Aku tau soalnya aku selalu merhatiin kamu nerawang dibalik tirai kamar kamu tiap kali gerimis turun.” ujar Darren enteng.



Bola mataku membulat semaksimal mungkin! Mulutku juga mangap mendengarnya (ini dia yang dimaksud dengan kebodohan berlanjut-lanjut tadi)



Darren tergelak. “ bukan cuma itu aja.. selain tau kamu suka gerimis, aku juga tau kamu suka coklat. Kamu suka ice cream. Kamu suka mawar putih. Kamu suka warna pink. Bahkan aku juga tau kalau setiap sore kamu selalu duduk di balik tirai jendela kamarmu hanya untuk merhatiin aku main gitar kan?”

 Plaaaaaak! Tidak dapat terbendung lagi. Dari mana Darren tau semua kesukaanku? Aku shock terlebih pada saat aku mendengar kalimat terakhir Darren. “apa-apaan ini?” batinku!



“hmm.. sejak kapan kamu suka gerimis ra?”



aku yang tidak tau harus malu atau bagaimana, aku hanya menjawab pertanyaan cowok itu seadanya, “sejak aku merasa nyaman setiap kali ia hadir.”



“Oh ya? Wow!” hening sejenak. “kalau boleh tau, apa alasan kamu suka gerimis?”



“ oh itu. Aku suka gerimis ya karna memang aku ngerasa suka aja.” aku tertawa kecil saat melihat lelaki disebelahku ini mengangkat sebelah alisnya. “kedengaran gak logis ya? Memang! Ya tapi memang seperti itulah. Menurutku gerimis itu romantis. Walau rintik kecil yang menurut segelintir orang hanya penguapan air laut yang kurang sempurna, tapi bagiku tetap saja terdapat banyak keunikan di baliknya. Selalu ada kesan menarik yang ditinggalnya setiap kali ia turun. Gerimis itu sudah seperti teman curhatku, buku diary ku, pendengar setiaku bahkan inspirasiku untuk menulis.” jelasku panjang lebar. Baru kali ini aku merasa lepas mengeluarkan kata hatiku. Didepan Darren pula. Cinta pertaaa... baik, abaikan saja!



Hening sepersekian detik..



“Kalau kamu suka dengan gerimis, aku lebih suka sama temennya, Hujan. Hujan yang sangat lebat.”



“ka.. kamu suka hujan?” tanyaku antusias. aku tidak pernah mengetahui bahwa Darren menyukai Hujan. Hujan yang sangat lebat..



“ Ya, I do like rain so much. Sama kayak kamu, hujan juga memiliki arti tersendiri buat aku.. bagiku hujan yang sangat lebat itu memiliki tingkat seni yang tinggi. Memiliki bau khas bagi penikmatnya.” ujar Darren. “Aku juga suka bau tanah yang khas sesudah hujan..” “sama lagi kayak kamu, Hujan juga sumber Inspirasiku. Inspirasi yang dapat membuatku menciptakan beberapa lagu. Bahkan ada lagu yang tercipta untuk si pengintai di balik tirai jendela yang selalu memandangiku setiap sore.” darren tergelak dan mengerling nakal padaku.



Sumpaaaaah! Ntah seperti apa merahnya wajahku saat ini.. aku hanya menutupi wajah meronaku dengan telapak tangan seraya merelakan tubuh kecilku dijatuhi rintik rintik air hujan.



Sementara Rara tenggelam dalam rasa malunya, Darren merhatiin Rara dengan secercah senyuman yang menghiasi bibirnya..



*****



Back -



2 november.. Masih sama. Masih dibalik tirai jendela. Gerimis yang meliputi senja. Aku menyukai keadaan ini, rupanya Gerimis turut melengkapi kebahagiaanku tepat disaat bertambahnya usiaku. Tapi benar, dimana ada kebahagiaan, disana ada kesedihan. Setidaknya kalimat itu yang kurasakan saat ini. Ya, tepat! Darren alasannya. Sosok yang tiga tahun terakhir ini tidak ku temui lagi. sosok yang tiga tahun ini hanya ku kenali lebih dalam dari alat komunikasi. Sosok cinta pertamaku. Sosok yang dulunya hanya mampu menghiasi angan. Sosok yang...



“raaaaaa.. raraaaa.. turun dulu sayang” sebuah suara membuyarkan lamunanku.



“aduuuuh. Mama ngapain sih teriak-teriak?! Ganggu suasana aja deh!!” jengkelku.



“RARAAAAAAA!!!”



“IYA MA.. IYA..!”



Aku turun menyusuri anak-anak tangga dengan langkah malas. “berita gak penting apa lagi sih yang mau mama ceritain?!” batinku.



Tujuh anak tangga terakhir.



Lima anak tangga terakhir..



dan tiga anak tangga terakhir..

langkah ku terhenti. Ada oom dan tante wijaya bersama dengan mama di ruang tamu. Tapiiii, “siapa itu? Sepertinya wajahnya tidak asing” pikirku. aku masih saja berdiri di deretan anak tangga tersebut.. Mencoba menerka siapa pria seusiaku yang kini juga terlibat omongan hangat bersama keluarga wijaya dan mama.



“Eh, Rara.. kamu ngapain disitu? Sini dong sayang” ujar mama yang membuyarkan semua terkaanku tentang si pria tersebut..



Aku tersadar kemudian berjalan mendekati ruang tamu. Satu langkah. Deg!! jantungku berdebar. Dua langkah. Deg deg! Jantungku kembali berdetak kencang. “ada apa ini?” . semakin aku mendekati sosok pria itu, semakin keras jantungku bergetar.



“sini sayang, duduk di samping tante.” ujar Ny. Wijaya (Mama Darren) saat aku berdiri dihadapan mereka.



“i.. iya tante..” jawabku seraya duduk disampingnya.



Hening.. aku menatap pria tadi. Ia tersenyum. Senyuman itu, seperti senyuman yang ku kenali. Aku terus berfikir siapa pria ini. Sampai.... sumpah! Kali ini sepertinya jantungku berhenti berdetak.



“mind to go to balcon with me?” ujar pria tersebut. Ya, kepadaku. Kepada siapa lagi?



“hah?”



belum sempat aku menjawab pertanyaannya tadi, si pria itu sudah menggandeng tanganku terlebih dahulu. Aku yang belum tau siapa pria ini sebenarnya ini hanya bisa terpelongo mengikuti arah gandengan si pria tadi. Pasrah.



“ ka.. kamu siapa ya?” tanyaku to the point saat kami tiba di balcon dan duduk disalah satu kursi panjang yang memang berada disana.



Pria itu tersenyum. Senyum itu lagi. “jadi kamu udah lupa sama aku My drizzle girl ?”



My drizzle girl? Hanya satu orang yang memanggilku dengan sebutan seperti itu. Dia My rainy boy. Dan, tidak salah lagi. DARREN!!!!



“Daaa.. Darren?” jawabku tergagap. Aku tidak menyangka. Tiga tahun tak melihatnya, ternyata ia sudah banyak berubah. Mulai dari style sampai ke logatnya berbicara. Aaaah, dia darrenku..



Darren tertawa renyah.. “Jadi kamu baru sadar kalau aku Darren?”



“...”



“Ra.. raaa.. ternyata kamu ga banyak berubah. Kamu masih Rara yang aku kenal dulu..” Darren tersenyum “ternyata kamu masih Rara.. orang yang aku kenal sejak sekolah dasar. Masih rara si Drizzle girl-ku.. cinta pertamaku.”



SHOCK!

Aku hanya melongo mendengar kalimat-kalimat Darren. “cinta pertamanya?” “aku cinta pertama Darren?” batinku menjerit. “haha ini pasti cuma halusinasiku aja. Ini pasti mimpi. Ku tebak, dimimpi ini pasti Darren nembak aku. Pastiii Darr....”



“Raaa.. would you mind to be my girl?” ujar Darren. “DARREN!”



hening. “benar dugaanku.. ini memang benar-benar mimpi yang indah”



Darren menepuk-nepuk pelan pipiku.. “Raaa.. Raraaaaaaa” panggil darren setengah berteriak.



Aku tersentak dari lamunan ku. “kok aku masih belum bangun-bangun sih? Padahalkan Darren udah nepuk-nepuk pipiku. Apa aku beneran gak mimpi? Aaah, bego banget sih kamu Raa! Gak mungkin.” Gumamku. Tepatnya ujarku sih, karna omonganku tadi didengar oleh Darren.

Darren tertawa. “kamu nggak lagi mimpi Chiara Canesha Calandra.” hening. Terlihat wajah grogi Darren yang menurutk lucu. “Jadi gimana raa?”



“haa?”



“ehm” Darren mendehem (ngilangin Grogi :p) “A... aku sayang sama kamu ra. Udah lama banget. SD. Ya sejak kita duduk di bangku SD.”



Ntah seperti apa rasa yang ada dihatiku saat ini. Huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..



“hmm, jadi gimana ra? Kamu.. hm, kamu mau nggak jadi pacar aku?” ulang Darren.



Wajahku terasa panas. Memerah. “heeem” aku berpikir. Aku sudah memutuskan apa yang akan kukatakan. “Hm, sorry ya ren. Aku nggak bisaaa.”



Darren yang semula menatapku, langsung mengalihkan pandangannya ke arah kolam renang. Ia tersenyum. Aku tau, senyum yang dipaksakan.



“hm, iya nggak papa kok raa. Aku tau kamu......” belum selesai kalimatnya, aku sudah memotongnya.



“aku belum selesai ngomong ren.” ujarku seraya menunduk.



“haa? Maa.. maksud kamu ra?” tersirat wajah yang menyimpan sedikit harapan.



Aku masih saja menunduk. Malu (tapi mau :p). “maksud aku.. heeeeem..” “...”



“apa ra?”



“aku nggak bisaa.. aku nggak bisa nolak cinta pertamaku.” jawabku. serius! Mukaku memanas lagi.



“haaa? Cinta pertama?” “Jaa.. jadi aku juga cinta pertama kamu ra?”



Aku hanya mengangguk mengiyakan kata-kata Darren.



Darren tersenyum lebar. Perlahan aku merasakan tangannya menggenggam tanganku. “Jadi mulai sekarang kita jadiankan My Drizzle Girl?” ujarnya sambil mengerlingkan mata.



Aku mendongak dan menatapnya. Huaaaaaa, jantungku serasa lepas dari tempat beradabannya. Aku tersenyum. Berusaha menandingi senyum manisnya. “Iya My Rainy Boy” :)



Seketika Darren mempererat genggamannya. Wajah bahagia tersirat dari wajahnya, begitu juga dengan wajahku. Namun tiba-tiba..



prook proook prooooook..



terdengar suara tepukan tangan. Aku dan darren segera mengikuti arah suara dari tepukan tangan tersebut. Terlihat mama, oom wijaya dan tante wijaya yang sedang tertawa sumbringah sambil mengerling nakal seraya menatap kearah kami berdua.



“aaaaaaaa.... ini pasti kerjaan mamaaaa! Huaaaaaaaaaaaaaa malu” teriak batinku. Malu berpadu bahagia.



Darren merangkulku. Terasa aroma wangi dari tubuhnya. Akhirnya saat yang kutunggu-tunggu terjadi hari ini. Jujur, aku masih merasa semua ini mimpi. Mimpi indah. Tapi, seandainyapun ini mimpi, aku hanya ingin terus terlelap tanpa berharap akan terjaga.