Rabu, 09 Desember 2015

Beberapa Puisi di Indopos, 5 Desember 2015

Tukang Tato

Sambil kupahatkan daun-daun ke kulitmu, engkau berteriak
laik guntur mengulur kilat, jatuh ke ranah basah
yang kuning dan pernah kering

Silau oleh kilat itu, mataku mengedip lebih cepat
dari biasanya. Namun tetap, yang jarang terjadi
akan mati bila bersihadap dengan wajahmu
nan kugandrungi

Engkau membuka baju, menyerahkan sisanya untuk
kujejaki. Membelit tinta panas di kulit hingga burit
hingga engkau menjerit
merasa sakit

Jantungku bergidik seketika merasa pekik yang
kau lontar terlalu berderu membungkam ricik
gerimis, mencuri
hangat tubuhmu

Pekanbaru, 2014.


Mendung

Wajah zaman lindap. Dalam kelambu matahari langit mendengkur
di matamu yang menjatuhkan putik-putik
ada yang bersemayam. Seperti gelap. Atau mungkin rahasia
tentang asap. Membentang di kelapangan kota
hutan terbakar. Angin pengap berkelindan saat
penat berkarat di tubuh kita

Jika di atas langit masih ada langit, maka doa-doa tak ‘kan pernah sampai
dan dengan tujuan tak menentu, adakah yang menangkapnya?
Sebab, musim yang kelabu ini kerap mengusik tidurku
yang tak juga menambat apa pun.

Langit di sini, selalu hanya mendung
namun tak mampu menghujan
langit di sini, barangkali hanya bisa bersedih
tersebab tak pernah mampu menangis

Daun-daun gugur jatuh menyentuh tanah
berbincang mengenai kematian dan warna tubuhnya 
nyaris membakar mata yang memandang dosa 
sebagai matang doa-doa

Tapi doa, ke manakah akan dihaturkan 
jika setiap hari
tuhan semakin ramai di sini?

Pasa Ibuah, 2015


Semula Hujan

Jalanan berdebar meregang kisut jantungnya. Hujan baru mekar
Putik-putiknya menyasar ke sulur dadamu yang nganga
penuh suka duka

Aku dengar, jam berdetak pada detik ke 21
tapi tak ada jam di sini, selain arloji yang
mengunyah segala bahasa

“Mungkin itu suara jantungku, yang baru
kau pahami maknanya,”

Kafe-kafe berkaki seribu melipat jarak
tapi alangkah jauhnya kita, melepit
lengan sembari menarikan jari 
di layar gawai, yang piawai 
menyembunyikan tikai

langit-langit temaram, dan hatiku yang rawan
tiba-tiba saja disesaki alunan musik yang melantun
tanpa ampun, menggetarkan ruangan
yang lebih dulu merasa resah dari siapa pun

Sudah redakah hujan di matamu, atau bibirmu 
yang mengatup telah menjelmakan batang agam, mengalirkan
kesedihanku, mengairkan parit-parit, got, tanah, dan vas bunga
atau ia malah beringsut, memasuki sumur-sumur, menapaki bilur
di tubuh gamangku.

Tak lama hujan reda, aku menemukan bayanganmu berlari
meninggalkan kafe.

Payakumbuh, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar