“Aku yakin ada yang
mendorongku!”
“Tapi ‘kan waktu itu kau
tengah sendiri. Jujur sajalah, sebelum cambuk ini kulecutkan lagi padamu!”
“Ah, tahu dari mana kalian,
bahkan saat itu kalian pun tak ada di sana!”
“Mana ada maling yang mau ngaku!”
Lekatlah cambuk itu ke
kulitku berulangkali, secara bergantian, kedua malaikat itu seperti meluapkan
nafsunya yang selalu terpendam selama ini. Padahal aku tak berbohong bahwa ada
yang mendorongku ketika itu. Walau orang-orang menyangka aku bunuh diri karena
hampir gila, menyangka aku stress akibat terus-terusan merevisi skripsi yang
tak kunjung diterima oleh dua orang dosen pembimbing yang lebih mirip setan
itu. Tapi, aku yang menuntut ilmu di salah satu universitas islam tak pula
mungkin berani bunuh diri setelah tahu apa-apa saja ganjaran yang diberikan
untuk sesuatu yang bodoh dan mengerikan itu. Tapi, kedua malaikat yang tak
jelas bentuk wajahnya itu, tak jua percaya dengan apa yang kukatakan. Apakah
peradilan di hari penghakiman ini tak ada bedanya dengan yang ada di dunia?
Seenaknya main hakim sendiri, tanpa tahu sumber masalah seperti apa dan
bagaimana. Ya, walau mereka malaikat yang kabar burungnya sangat taat kepada Tuhan,
tapi tetap saja, mereka tak lebih dari manusia biasa, main hakim sendiri, seenaknya
melecut tubuhku yang dikafani tanpa bukti.
Aku berteriak sangat kencang
setiap kali lecutan-lecutan itu lengket di tubuhku. Aku tak tahu, apakah makam
sebelah mendengar, atau ia jua mendapati siksaan yang sama. Atau orang-orang
yang berjalan di jalanan dekat bergidik bulu kuduknya dan berlari secepat
kilat. Yang kutahu hanya tubuhku mulai merekah dan bersimbah darah, lalu
kembali seperti semula dan kembali memerah hingga mereka mendapatkan jawaban
yang mereka inginkan.
“Mengaku sajalah kau, agar
tak kami buat lebih menderita!” ucap Munkar gahar. Di sisinya Nankir terbahak
tersedak-sedak.
“Aku tak akan mengakui apa
yang tidak kuperbuat. Siksalah sampai aku mati berkali-kali!”
“Pekerjaan kami tak cuma
mengurusmu, tolonglah, berikan pengakuan sebelum Tuhan memanggil kami kembali.”
Aku terbahak mendengarnya.
Tak kusangka, bahkan pekerjaan yang diemban oleh malaikat pun memiliki tenggat
waktu. Tapi sungguh, aku tak berbohong hal-ihwal musabab kematianku. Aku tak
akan mengambil jalan bunuh diri jika hanya karena terus merevisi skripsiku
berulangkali. Terlebih, keyakinanku akan dua orang dosen yang ‘kucintai sampai
mati’ itu pastilah bosan jika harus berhadapan denganku setidaknya sekali dalam
sebulan.
***
Orang-orang mengenalku
sebagai aktivis aktif jalanan yang telah mahfum dalam demo-demo yang tak jarang
berakhir anarki. Ditambah lagi tempat singgahku di kota ini adalah perumahan
kontrakan bagi para mahasiswa-mahasiswa di kampus. Tak jarang aku dan organisasi
berkumpul di kontrakan untuk membahas hal-hal yang perlu dibilas, kadang juga
merayakan keberhasilan atas demo-demo kami yang berhasil menjatuhkan
tikus-tikus berdasi keparat itu. Bahkan terkadang ada yang dari mereka memilih
menginap untuk berdiskusi panjang hingga pagi menjelang. Mereka tentu tahu,
seseorang dengan niat dan tekad kuat seperti aku ini tak akan sedikit pun
memikirkan kematian, apalagi bunuh diri. Seperti pada kasus ketika aku dan
kawan-kawan merusak kantor gubernur akibat kelalaiannya dalam menjalankan
tugas. Bukannya mengurusi rakyat miskin, malah menguras ‘isi kolam’ itu
sendiri. Kami sampai-sampai diberi tembakan peringatan oleh kepolisian, dan tak
hanya itu, kami terus melawan hingga beberapa dari kami ditangkap dan
terbungkam di sel tahanan. Namun untungnya aku berhasil lolos di antara gas air
mata yang memedihkan itu.
Dilahirkan di kampung
terpelosok membuat mentalku kuat. Aku diajarkan untuk tak gampang putus asa
dalam hal apa pun, terutama menyoal agama. Di kampungku, walau yang ada hanya
mushalla, tapi masyarakat di sana sangat taat beribadat. Hal itu juga disebabkan
banyaknya anak-anak desa yang merantau ke kota guna menuntut ilmu di pesantren sekian
lama, lalu pulang dengan menyabet gelar Ustad, Kiai, dan semacamnya. Namun, beberapa
dari mereka yang tak berhasil mengemban amanah itu malah menjadi bandit kota
yang kerjaan sehari-hari tak kurang tak lebih merampok, nyopet, ngemis dan berbagai hal-hal nista lainnya. Biasanya, jika
ada dari kami (anak rantau) yang pulang tanpa membuahkan apa-apa, maka hukuman
yang patut dan harus diterima adalah terusir dari kampung, dan dibiarkan jadi
gelandangan kota. Kampungku termasuk kampung yang menganut paham orang-orang
dulu. Yaitu, marwah keluarga adalah segalanya. Tak sedikit dari mereka yang
merantau itu sudah terjaring oleh penegak hukum, juga ada beberapa teman
sepermainan gundu-ku dulu, kini,
bahkan ada yang menetap di sel tahanan berbulan-bulan.
***
“Jadi, kau masih belum
mengaku?” Wajah Munkar yang semula gahar kini mulai melemas. Sementara Nankir
yang tampak kesal pun berteriak sembari memukul-mukul tanah bekas timbunan itu.
“Dari pada tak ada hasil
seperti ini, bagaimana jika kalian dengarkan ceritaku saja?” Aku menawarkan
kesepakatan. Menyerah, mereka pun mengangguk tanda setuju lalu duduk menungguku
bercerita.
Hari itu aku berencana
menemui adik tingkatan yang ingin menimba ilmu aktivis kelapangan lebih luas
kepadaku. Ia memilihku karena aku sering menjadi pemimpin dalam suatu
penyuaraan hak-hak asasi yang hilang di sini, dan untuk itu ia juga membayarku
per jam. Saban hari kami juga sudah berjanji akan bertemu, dan memang ketika
itu ia tengah masuk di kelas 20,
lantai tiga gedung fakultas tua itu. Maka aku pun menyusulnya dan berniat
menungguinya hingga kelar itu mata kuliah. Membakar sebatang rokok dan
menyandarkan bokong di pembatas dinding. Aku memang kerap memandang ke bawah,
mencondongkan badan ke depan karena angin lebih kuat ketika aku menjulurkan kepala. Tapi, tiba-tiba, dari
arah belakang ada yang menepuk punggungku sehingga aku terkejut dan nyungsup ke bawah dengan kepala duluan yang
menyapa tanah.
“Lalu, kabar angin yang
mengatakan bahwa kau stress hampir gila karena skripsi itu bagaimana?” Nankir
mulai berkata-kata, seakan merasa masih kubodohi.
“Itu hanya rumor, Bung.
Percayalah padaku, aku juga pendoa yang taat seperti kalian, kok!”
Mereka hanya merungut dan
mengusap dagu berkali-kali. Di atas seperti tengah dilandai hujan deras, tanah
menjadi lembab dan dingin. Cacing-cacing mulai menggeliat mendekati bangkaiku
yang padahal belum genap sehari kutinggalkan.
“Tapi kami masih belum yakin
apa yang kau katakan ini adalah benar. Apalagi kaum aktivis sepertimu sudah
sangat lihai berbicara, sementara kami seumur-umur hanya mengabdi pada Tuhan
Yang Maha Esa. Tentulah kami tak sekonyong-konyong bilang iya!”
“Aku juga punya hati nurani,
kok, Kir.” Aku berupaya meyakinkan Nankir yang masih tampak bingung dengan
ceritaku, lalu melanjutkan cerita-cerita mengenai kehidupanku ketika berada di
dunia.
“Bisakah kalian renggangkan
ikatan kafan ini? Tanganku merasa agak sedikit pegal,” lanjutku, di antara alir
air yang merembes ke akar-akar tanaman.
Mereka menurut seolah
keinginannya yang sangat kuat tadi sudah kurenggut. Aku melanjutkan kisah-kisah
hidupku ketika masih kecil di kampung, ketika bersekolah hingga memutuskan
memilih untuk menjadi anak perantauan ke kota dan hidup sebisanya. Sebab aku
tak pula bisa mengharapkan penghasilan dari ladang orang tua, yang, untuk makan
sehari-hari mereka saja masih kurang. Kadang aku ikut bekerja part time, mencuci piring di acara
pernikahan, menjadi juru ketik untuk tugas-tugas yang malas dikerjakan
mahasiswa lain, kadang juga menjadi pembicara di suatu workshop atau mengirim opini-opini tegang ke media massa.
Aku hidup dari jeri payahku
sendiri. Di usia yang semuda ini, aku sudah harus bisa semandiri mungkin untuk
menghadapi kehidupan. Tak jarang pula aku tak makan dalam sehari. Saat-saat
seperti itu kadang kujadikan sebagai amalan. Aku memutuskan untuk berpuasa
ketika itu. Kalian para malaikat, tentu tak tahu bagaimana rasanya lapar,
kecewa terhadap dunia atau diri sendiri, atau merasa telah gagal pernah dilahirkan.
Dan ketika aku memiliki sedikit rejeki, aku juga terus bersedekah karena telah
merasakan hidup yang payah, dan tak ingin ada orang yang lebih merasa kesulitan
dariku.
Aku belajar untuk hidup
susah agar nantinya tak begitu sulit memasuki kehidupan yang sebenarnya. Tapi,
walaupun hidupku susah, tak pula pernah aku berniat untuk bunuh diri. Tuhan,
dalam keyakinanku selalu memberi jalan kemudahan bagi kaum yang taat kepadanya.
Seperti saat ini, bukankah seharusnya kalian menyiksaku?
Menginterogasiku seperti polisi-polisi terdahulu yang diperintah untuk membuat
seorang tersangka mengaku dengan melakukan cara apa pun? Tuhan maha pengampun,
begitu juga kalian seharusnya.
“Ceritamu begitu menyentuh.
Apa hidupmu benar sesulit itu? Di surga, kami tak pernah mendapati kesulitan.
Atau mungkin kami memang tak diberikan hak untuk memperolehnya. Kami hanya
melakukan ritual-ritual yang itu-itu melulu. Menyembah Tuhan dari pagi hingga
malam hingga pagi kembali tak henti-henti. Kalian beruntung memiliki akal dan
perasaan yang tak jarang berjalan tidak searah. Mungkin itu pula yang dinamakan
bumbu kehidupan.” Munkar mengusap
matanya yang merah sementara Nankir berupaya untuk terlihat kukuh dan tangguh.
Subuh pun tiba. Azan menggema
sampai ke dalam tanah, tepat saat aku selesai bercerita. Aku lega, begitu juga
mereka. Kami merasa sudah tidak ada lagi yang harus dipertentangkan lagi. Semua
sudah diusut dengan tuntas, oleh ceritaku juga bekas lecutan cambuk-cambuk
mereka.
“Sudah waktunya kami pergi,”
ucap Munkar sambil mengeratkan kembali ikatan kain kafanku. Munkar dan Nankir,
akhirnya kembali berdiri dan berpamitan.
Aku tersenyum geli melihat
tingkah mereka yang semula sangat garang dan kasar itu meleleh seperti tumpahan
es. Aku tak menyangka, ilmu yang kudalami sedemikian rupa ini mampu menaklukkan
ketaatan malaikat kepada Tuhannya.
***