Kamis, 30 April 2015

Siksa Kubur



 
“Aku yakin ada yang mendorongku!”

“Tapi ‘kan waktu itu kau tengah sendiri. Jujur sajalah, sebelum cambuk ini kulecutkan lagi padamu!”

“Ah, tahu dari mana kalian, bahkan saat itu kalian pun tak ada di sana!”

“Mana ada maling yang mau ngaku!”

Lekatlah cambuk itu ke kulitku berulangkali, secara bergantian, kedua malaikat itu seperti meluapkan nafsunya yang selalu terpendam selama ini. Padahal aku tak berbohong bahwa ada yang mendorongku ketika itu. Walau orang-orang menyangka aku bunuh diri karena hampir gila, menyangka aku stress akibat terus-terusan merevisi skripsi yang tak kunjung diterima oleh dua orang dosen pembimbing yang lebih mirip setan itu. Tapi, aku yang menuntut ilmu di salah satu universitas islam tak pula mungkin berani bunuh diri setelah tahu apa-apa saja ganjaran yang diberikan untuk sesuatu yang bodoh dan mengerikan itu. Tapi, kedua malaikat yang tak jelas bentuk wajahnya itu, tak jua percaya dengan apa yang kukatakan. Apakah peradilan di hari penghakiman ini tak ada bedanya dengan yang ada di dunia? Seenaknya main hakim sendiri, tanpa tahu sumber masalah seperti apa dan bagaimana. Ya, walau mereka malaikat yang kabar burungnya sangat taat kepada Tuhan, tapi tetap saja, mereka tak lebih dari manusia biasa, main hakim sendiri, seenaknya melecut tubuhku yang dikafani tanpa bukti.

Aku berteriak sangat kencang setiap kali lecutan-lecutan itu lengket di tubuhku. Aku tak tahu, apakah makam sebelah mendengar, atau ia jua mendapati siksaan yang sama. Atau orang-orang yang berjalan di jalanan dekat bergidik bulu kuduknya dan berlari secepat kilat. Yang kutahu hanya tubuhku mulai merekah dan bersimbah darah, lalu kembali seperti semula dan kembali memerah hingga mereka mendapatkan jawaban yang mereka inginkan.

“Mengaku sajalah kau, agar tak kami buat lebih menderita!” ucap Munkar gahar. Di sisinya Nankir terbahak tersedak-sedak.

“Aku tak akan mengakui apa yang tidak kuperbuat. Siksalah sampai aku mati berkali-kali!”

“Pekerjaan kami tak cuma mengurusmu, tolonglah, berikan pengakuan sebelum Tuhan memanggil kami kembali.”

Aku terbahak mendengarnya. Tak kusangka, bahkan pekerjaan yang diemban oleh malaikat pun memiliki tenggat waktu. Tapi sungguh, aku tak berbohong hal-ihwal musabab kematianku. Aku tak akan mengambil jalan bunuh diri jika hanya karena terus merevisi skripsiku berulangkali. Terlebih, keyakinanku akan dua orang dosen yang ‘kucintai sampai mati’ itu pastilah bosan jika harus berhadapan denganku setidaknya sekali dalam sebulan.
***
Orang-orang mengenalku sebagai aktivis aktif jalanan yang telah mahfum dalam demo-demo yang tak jarang berakhir anarki. Ditambah lagi tempat singgahku di kota ini adalah perumahan kontrakan bagi para mahasiswa-mahasiswa di kampus. Tak jarang aku dan organisasi berkumpul di kontrakan untuk membahas hal-hal yang perlu dibilas, kadang juga merayakan keberhasilan atas demo-demo kami yang berhasil menjatuhkan tikus-tikus berdasi keparat itu. Bahkan terkadang ada yang dari mereka memilih menginap untuk berdiskusi panjang hingga pagi menjelang. Mereka tentu tahu, seseorang dengan niat dan tekad kuat seperti aku ini tak akan sedikit pun memikirkan kematian, apalagi bunuh diri. Seperti pada kasus ketika aku dan kawan-kawan merusak kantor gubernur akibat kelalaiannya dalam menjalankan tugas. Bukannya mengurusi rakyat miskin, malah menguras ‘isi kolam’ itu sendiri. Kami sampai-sampai diberi tembakan peringatan oleh kepolisian, dan tak hanya itu, kami terus melawan hingga beberapa dari kami ditangkap dan terbungkam di sel tahanan. Namun untungnya aku berhasil lolos di antara gas air mata yang memedihkan itu.

Dilahirkan di kampung terpelosok membuat mentalku kuat. Aku diajarkan untuk tak gampang putus asa dalam hal apa pun, terutama menyoal agama. Di kampungku, walau yang ada hanya mushalla, tapi masyarakat di sana sangat taat beribadat. Hal itu juga disebabkan banyaknya anak-anak desa yang merantau ke kota guna menuntut ilmu di pesantren sekian lama, lalu pulang dengan menyabet gelar Ustad, Kiai, dan semacamnya. Namun, beberapa dari mereka yang tak berhasil mengemban amanah itu malah menjadi bandit kota yang kerjaan sehari-hari tak kurang tak lebih merampok, nyopet, ngemis dan berbagai hal-hal nista lainnya. Biasanya, jika ada dari kami (anak rantau) yang pulang tanpa membuahkan apa-apa, maka hukuman yang patut dan harus diterima adalah terusir dari kampung, dan dibiarkan jadi gelandangan kota. Kampungku termasuk kampung yang menganut paham orang-orang dulu. Yaitu, marwah keluarga adalah segalanya. Tak sedikit dari mereka yang merantau itu sudah terjaring oleh penegak hukum, juga ada beberapa teman sepermainan gundu-ku dulu, kini, bahkan ada yang menetap di sel tahanan berbulan-bulan.

***
“Jadi, kau masih belum mengaku?” Wajah Munkar yang semula gahar kini mulai melemas. Sementara Nankir yang tampak kesal pun berteriak sembari memukul-mukul tanah bekas timbunan itu.

“Dari pada tak ada hasil seperti ini, bagaimana jika kalian dengarkan ceritaku saja?” Aku menawarkan kesepakatan. Menyerah, mereka pun mengangguk tanda setuju lalu duduk menungguku bercerita.

Hari itu aku berencana menemui adik tingkatan yang ingin menimba ilmu aktivis kelapangan lebih luas kepadaku. Ia memilihku karena aku sering menjadi pemimpin dalam suatu penyuaraan hak-hak asasi yang hilang di sini, dan untuk itu ia juga membayarku per jam. Saban hari kami juga sudah berjanji akan bertemu, dan memang ketika itu ia tengah masuk di kelas 20, lantai tiga gedung fakultas tua itu. Maka aku pun menyusulnya dan berniat menungguinya hingga kelar itu mata kuliah. Membakar sebatang rokok dan menyandarkan bokong di pembatas dinding. Aku memang kerap memandang ke bawah, mencondongkan badan ke depan karena angin lebih kuat ketika aku  menjulurkan kepala. Tapi, tiba-tiba, dari arah belakang ada yang menepuk punggungku sehingga aku terkejut dan nyungsup ke bawah dengan kepala duluan yang menyapa tanah.

“Lalu, kabar angin yang mengatakan bahwa kau stress hampir gila karena skripsi itu bagaimana?” Nankir mulai berkata-kata, seakan merasa masih kubodohi.

“Itu hanya rumor, Bung. Percayalah padaku, aku juga pendoa yang taat seperti kalian, kok!”

Mereka hanya merungut dan mengusap dagu berkali-kali. Di atas seperti tengah dilandai hujan deras, tanah menjadi lembab dan dingin. Cacing-cacing mulai menggeliat mendekati bangkaiku yang padahal belum genap sehari kutinggalkan.

“Tapi kami masih belum yakin apa yang kau katakan ini adalah benar. Apalagi kaum aktivis sepertimu sudah sangat lihai berbicara, sementara kami seumur-umur hanya mengabdi pada Tuhan Yang Maha Esa. Tentulah kami tak sekonyong-konyong bilang iya!”

“Aku juga punya hati nurani, kok, Kir.” Aku berupaya meyakinkan Nankir yang masih tampak bingung dengan ceritaku, lalu melanjutkan cerita-cerita mengenai kehidupanku ketika berada di dunia.

“Bisakah kalian renggangkan ikatan kafan ini? Tanganku merasa agak sedikit pegal,” lanjutku, di antara alir air yang merembes ke akar-akar tanaman.

Mereka menurut seolah keinginannya yang sangat kuat tadi sudah kurenggut. Aku melanjutkan kisah-kisah hidupku ketika masih kecil di kampung, ketika bersekolah hingga memutuskan memilih untuk menjadi anak perantauan ke kota dan hidup sebisanya. Sebab aku tak pula bisa mengharapkan penghasilan dari ladang orang tua, yang, untuk makan sehari-hari mereka saja masih kurang. Kadang aku ikut bekerja part time, mencuci piring di acara pernikahan, menjadi juru ketik untuk tugas-tugas yang malas dikerjakan mahasiswa lain, kadang juga menjadi pembicara di suatu workshop atau mengirim opini-opini tegang ke media massa.

Aku hidup dari jeri payahku sendiri. Di usia yang semuda ini, aku sudah harus bisa semandiri mungkin untuk menghadapi kehidupan. Tak jarang pula aku tak makan dalam sehari. Saat-saat seperti itu kadang kujadikan sebagai amalan. Aku memutuskan untuk berpuasa ketika itu. Kalian para malaikat, tentu tak tahu bagaimana rasanya lapar, kecewa terhadap dunia atau diri sendiri, atau merasa telah gagal pernah dilahirkan. Dan ketika aku memiliki sedikit rejeki, aku juga terus bersedekah karena telah merasakan hidup yang payah, dan tak ingin ada orang yang lebih merasa kesulitan dariku.

Aku belajar untuk hidup susah agar nantinya tak begitu sulit memasuki kehidupan yang sebenarnya. Tapi, walaupun hidupku susah, tak pula pernah aku berniat untuk bunuh diri. Tuhan, dalam keyakinanku selalu memberi jalan kemudahan bagi kaum yang taat kepadanya.  Seperti saat ini, bukankah seharusnya kalian menyiksaku? Menginterogasiku seperti polisi-polisi terdahulu yang diperintah untuk membuat seorang tersangka mengaku dengan melakukan cara apa pun? Tuhan maha pengampun, begitu juga kalian seharusnya.

“Ceritamu begitu menyentuh. Apa hidupmu benar sesulit itu? Di surga, kami tak pernah mendapati kesulitan. Atau mungkin kami memang tak diberikan hak untuk memperolehnya. Kami hanya melakukan ritual-ritual yang itu-itu melulu. Menyembah Tuhan dari pagi hingga malam hingga pagi kembali tak henti-henti. Kalian beruntung memiliki akal dan perasaan yang tak jarang berjalan tidak searah. Mungkin itu pula yang dinamakan bumbu kehidupan.” Munkar mengusap matanya yang merah sementara Nankir berupaya untuk terlihat kukuh dan tangguh.

Subuh pun tiba. Azan menggema sampai ke dalam tanah, tepat saat aku selesai bercerita. Aku lega, begitu juga mereka. Kami merasa sudah tidak ada lagi yang harus dipertentangkan lagi. Semua sudah diusut dengan tuntas, oleh ceritaku juga bekas lecutan cambuk-cambuk mereka.

“Sudah waktunya kami pergi,” ucap Munkar sambil mengeratkan kembali ikatan kain kafanku. Munkar dan Nankir, akhirnya kembali berdiri dan berpamitan.

Aku tersenyum geli melihat tingkah mereka yang semula sangat garang dan kasar itu meleleh seperti tumpahan es. Aku tak menyangka, ilmu yang kudalami sedemikian rupa ini mampu menaklukkan ketaatan malaikat kepada Tuhannya.

***