Jumat, 01 Juli 2016

Cinta Kepadamu

Cinta kepadamu adalah pengharapan
seribu tujuh ratus sembilan kilometer
jalan menaik menarik pinggangku
menjadikanku paus bungkuk
jalan menurun berlubang mengempas tapi aku tak jua sampai padamu
apakah senyummu masih merangkum sembilu
seseorang di dalam pengeras suara meneriaki
hanya wanita baik yang merelakan lelakinya pergi
dan lelaki tak pernah mengerti arti diam
cinta kepadamu adalah cahaya bintang yang mengembang dan membubuhi soda memabukkan ke wajahku
wajahmu menyalin kaca
di kafe ini, jendela yang pernah menghalangi pandang hilang
sedang keningmu yang luas, yang belum jelas tergambar di kepalaku ingin sekali kujadikan alas tulis
maka demi segala kesemrawutan ini, letih mendidih di tubuhku, padahal hujan tengah melebat di luar
seperti debar dalam dadaku
kerapkali kau tuangkan nyeri
dahaga tak jua menjumpaiku
lidahku masih haus merasakanmu
maka kau tuang sekali lagi
cukup sekali karena pandanganku
mulai buram
seperti permukaan kaca
yang menyalin wajahmu

Kamis, 30 Juni 2016

Beberapa Puisi di Riau Pos, 1 Mei 2016

Sebelum Pagi Jatuh

Jauh sebelum pagi jatuh
di pos jaga yang dipenuhi kabut
seorang tua memandangi langit
kipas angin bergetar di depannya
kumbang merayap dan
memenuhi isi telinga

“Sudah beberapa malam ini, bulan tidak
muncul juga.
Mungkin pertanda buruk, atau bukan apa-apa,”

Jam berdetak. Di jantungnya yang pengap
berdetik gelisah amsal kaki-kaki meja yang rapuh dan
tak lagi mampu menahan beban seluruh

Ia hanya duduk, menunggu pukul 1, 2, 3 dan 4 dini hari
mungkin menunggu azan menggaung
dan merampungkan mimpi
mimpi yang berkeringat mengingat lewat masa lalu

Lalu gerimis tiba
jauh sebelum pagi jatuh
di pos jaga, seorang tua memandangi langit
dengan perasaan yang bergetar
di kipas angin

Pekanbaru, 2015


Menyeberang Jalan

sambil menerawang ke seberang, aku melihatmu menunggu, sementara di jalan mesin-mesin berlewatan, memacu terik siang payakumbuh. sesekali aku pikir ingin menyeberang, menggapai tubuhmu, lalu kita bersama menatap dunia yang licin.

di pasar ibuh memang kita bertemu, di rumah gadangku itu, lihatlah, betapa muram sejarah mencatat silsilah, dan aku masih membatin betapa asing ini kampung, betapa pedas cabai yang terserak di tadah plastik itu.

kecut lidahku, hanya asam kandis terasa, dan hanya manis mampu kuterima, gelamai, seturut beras rendang, masih terasa kelat, dan menganggapku semata pelancong.

aku hanya penyeberang, adinda, aku bahkan sebatas melintasi rumahmu, lalu beringsut menuju tebing curam ngalau indah.

Payakumbuh, 2016

Epigrafi

Tertulis sebuah epigrafi:
“Jangan menuhankan cinta,”

Seusai menulis prasasti
tuhan pergi
menyeka air mata

Pekanbaru, 2014


Di Palung Mimpi

pada ini liang kau bergelung, menyusur hingga ke
palung mimpi. adakah kau temui siapa pun,
doa-doa menyembul, mata air
mengalir?

sesuatu, entah apa menampakkan diri di antara
relung malam. malam hanyut di pusar
waktu, waktu kian berderap, dan
hingga kini tak jua mampu
menghapus masa lalu.

Pekanbaru, 2015

Jumat, 29 April 2016

Catatan Perjalanan.

Dalam hidup, kita hanya perlu dua hari: hari di mana kau menulisnya, dan hari di mana kau membacanya." ~ dikutip dari Firdaus Amran.

Barangkali, kalimat di atas dapat menggambarkan bagaimana seharusnya manusia berproses. Kalimat di atas bisa jadi adalah landasan yang baik untuk tidak membiarkan kita berdiam diri saja. Maka boleh dikatakan bahwa untuk memulai, ada baiknya tak memerlukan hari nanti, melainkan saat ini. Dan sebagaimana saat ini, hari nanti juga akan menjadi saat ini pada masanya. Dalam artian, setiap saat dapat menciptakan pengalaman baru, dan tentunya tergantung pengamalan kita. Perbuatan yang telah kita ciptakan pada saat ini. 

**

Jumat, 22 April 2016 merupakan hari bersejarah bagi saya. Usai sembahyang jumat, saya memutuskan untuk berangkat dari Pekanbaru ke Bandung, menemani abang (sebut saja Kharis) memakai jalur darat. Perjalanan yang lumayan jauh. Perjalanan yang nantinya akan terkenang sampai kapan pun. Perjalanan lintas pulau perdana saya. Menempuh seribu tujuh ratus sembilan kilometer, bukanlah perkara main-main. Ada banyak hal yang mesti dipertaruhkan. Jadwal kuliah salah satunya.

Berangkat dari Pekanbaru dengan harapan sampai Jambi pada malamnya, ternyata buyar setelah melihat kondisi jalanan yang padat, sempit dan lumayan hancur. Terlebih, belum lagi cerita-cerita orang seperjalanan, mengatakan, ada baiknya bermalam di penginapan. Jalan lintas timur memang tak pernah aman dan nyaman. Ada banyak kejadian mengerikan di pesawangan, terutama di malam hari. Orang setempat menyebut perompak malam di sini adalah bajing lompat. Beberapa lain juga menyuarakan begal, dan banyak lagi. Tak jarang pula nyawa melayang. Kemudian bulatlah tekad untuk bermalam di wisma, di daerah Pematang Rebah, Rengat. 

Esoknya, pagi sekali kami sudah bersiap dan berangkat. Menuju Jambi, dalam bayangan saya, akan ada banyak hal baru yang ditemukan. Salah satunya adalah kultur. Di Jambi, setidaknya di pinggiran jalan lintas, sudah dapat ditemui rumah-rumah panggung. Kaum marjinal, masyarakat pinggiran, masyarakat yang bergeser karena tak sanggup hidup bertautan dengan keadaan. Saya lumayan sedih dan kacau, karena memang, sepanjang jalan, yang dapat ditemui itu-itu saja (selebihnya hanya hutan sawit), sampai ke kota Jambi. Lalu menginaplah kami di Jambi, beristirahat, dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

Dari Jambi menuju Palembang. Dengan isi kepala yang mengambang dan penasaran, saya melanjutkan perjalanan. Hanya hutan sawit, sekali rumah-rumah, perbatasan, juga minimarket. Di atas kendaraan semua tampak sepintas. Tak ada yang terekam secara sempurna, terlebih pemandangan yang begitu-gitu saja. Perbedaan saat ini dan kemarin hanya, pegal linu makin kemari makin menumpuk. Pinggang merenggang. Bahu membungkuk. Lalu, apa yang dapat diambil dari rasa letih dan sakit? Barangkali pengalaman. Mungkin benar, tak ada yang baru di bawah pijar matahari, hanya saja, tak pernah ada yang cukup lama menampungnya. Rasa sakit akan hilang. Tapi pengalaman akan jadi sejarah, akan jadi obat mujarab bagi hari nanti. 

Bermalam di Palembang, dan paginya harus meneruskan perjalanan ke bagian lebih selatan: Lampung. Di sepanjang perjalanan, mulai terlihat masyarakat pesisir. Dari penampakan rumah panggung, sungai-sungai, sampai pada persawahan yang terendam. Tentu akan ada banyak perbedaan dari kota, kampung atau provinsi sebelumnya, bahasa, adat, bentuk geografis, dan lain sebagainya. Saya kira inilah keistimewaan berkendara jauh. Kita dapat mengenal apa yang belum kita ketahui lebih dekat, atau bisa disebut "turun ke lapangan". Selain dapat dikategorikan sebagai hobi, juga tentunya menambah edukasi. 

Bandar Lampung bukan kota malam. Itu yang saya tangkap sekilas setelah bermalam di kota ini. Selain sepi, juga tak banyak yang bisa dipandang. Padahal, ada sebuah gunung yang menjulang di sana. Juga letaknya yang tak jauh dari laut, membuat ini kota memiliki keistimewaan tersendiri. Lalu pagi tiba, dan saat yang saya nantikan mendekat: menyeberangi pulau. 

Menuju Bakauheni, kira-kira memakan waktu dua jam. Sesampai di sana, saya sedikit terperangah menyaksikan keindahan alamnya. Di bandar itu, ada banyak hal baru yang mengembirakan. Kapal-kapal berderet. Laut yang tenang. Dan wajah-wajah baru yang juga menunggu. Bakauheni ke Merak. Kapal dihidupkan. Kami berjalan di atas air. Sebagaimana Bakauheni, Merak juga tak kalah mengagumkan. Ada bukit kecil yang menonjol di belakangnya seperti gigi gingsul Nabilah Ratna Ayu. Lalu, tanpa menyiakan waktu, kami berangkat menuju Bandung. 

Jalanan lumayan macet. Dari Cilegon, saya mengambil jalan lintas Bogor, alih-alih juga ingin menyaksikan pemandangan kota seribu angkot itu dari Puncak. Dan benar. Selain dingin yang menggigit, lampu-lampu di pekarangan begitu menenangkan. Seperti berada di atas langit, dan menyaksikan bintang berkelap-kelip. Ditemani secangkir kopi dan Indomie rebus hangat yang sesaat langsung dingin, saya menyaksikan pemandangan itu. Juga sesekali terdengar bahasa sunda yang tak saya mengerti sama sekali. Tapi baiklah, mungkin ke depan saya akan memelajarinya, alih-alih mendapat gadis sunda yang terkenal santun sekaligus anggun. 

Kemudian lanjut jalan. Dingin menyertai kami. Di tepi jalan, ada banyak mamang-mamang menawarkan vila, sampai bandul jam menunjuk pukul 11, sampai pula kami di Bandung. Kota yang terkenal memiliki hawa yang ramah, dan tata kota yang menarik. Ini kedua kali saya mengunjungi Bandung, namun tetap, selalu ada perasaan yang menggebu ketika mengunjungi tempat istimewa. Bandung, saya kira adalah tempat yang pantas untuk bersemadi, untuk mengasingkan diri dari rutinitas. Terlebih, kegiatan yang saya senangi beberapa tahun belakangan adalah menulis. Saya dapat menulis berdasar sudut pandang baru dari sini. Saya dapat melihat bagaimana Pekanbaru dari jauh, atau meminjam kacamata orang Bandung, dan menyaksikan bagaimana Bandung memandang kota tempat tinggal saya. Terlebih, perjalanan untuk sampai ke sini, telah merupa bekal baru, sejarah baru untuk dituliskan, untuk dikekalkan ke dalam bentuk yang sulit dihapuskan. 

Saya menulis ini, selain menceritakan pengalaman, adalah untuk mengingatkan, bahwa dalam hidup, selain berpikir dan berniat, berlaku juga mesti dijalankan. 

Mari bergerak. Lakukan apa pun yang menyenangkan hati. Buatlah sejarahmu sendiri, agar hidupmu memiliki jalannya sendiri, kemudian, berharaplah, kelak jalan yang telah ditempuh itu, bertaut dengan jalanNya.

Bandung, 30 April 2016. 

Minggu, 13 Desember 2015

Aku Tak Menulis Puisi Malam Ini

Aku tidak menulis puisi malam ini. Hanya saja, pikiranku, entah mengapa dipenuhi banyak engkau. Pikiranku seperti lemari yang menyimpan berlembar-lembar pakaian yang sama. Dan aku tak menyangsikan itu. Aku memiliki seorang kenalan, seorang pria, yang sangat suka mengenakan baju dengan motif yang sama. Bukan. Dia bukan mengenakan baju yang sama, melainkan dia memiliki banyak sekali baju dengan motif serupa. Dan dia, dengan bangga tetap mendongak, tersenyum menantang hari. Nanti, ada saatnya akan kukenalkan padamu. 

Aku tidak menulis puisi bukan karena memikirkanmu, melainkan ada kegusaran ketika aku mencoba untuk menanggalkanmu dari pikiran. Itu berarti, aku menikmatinya. Aku menikmati setiap gambaran buram yang coba dijelaskan pikiranku. Aku pernah menonton sebuah film barat, yang telah aku lupakan judulnya. Seorang pria yang hidupnya terlunta-lunta oleh aktifitas-aktifitas kesehariannya, yang (mengutip sebuah puisi) ditunggang-pacunya sendiri. Dia, rupanya di tengah cerita mengidolakan seorang fotografer yang terkenal. Suatu hari mereka bertemu. Namun dia tidak sadar bahwa orang tua itu adalah si fotografer. Ah, baiklah, aku melupakan bagian selanjutnya. 

Aku tidak menulis puisi malam ini, oleh karena itu aku menulis ini. Aku menulis ini, karena sedang tidak berbahagia. Aku tidak bahagia, karena sungguh, aku jenuh oleh puisi-puisi yang kurangkai tentangmu, tetapi tak pernah untukmu. 

Aku tidak menulis puisi malam ini karena aku sedang belajar berkata-kata, berlisan lidah. Aku ingin membacakanmu sebuah puisi, atau mungkin mengajakmu kencan dan makan siang. 

Kamis, 10 Desember 2015

Telepon Genggam dan Sebuah Jawaban

Malam kemarin, aku memutuskan keluar sebentar dan mencari tempat untuk duduk, memesan kopi, merokok--mungkin juga akan menulis puisi. Kamis memang tak pernah terkesan baik untukku. Ia selalu tampil dengan kebiasaan-kebiasaan yang tidak kusukai. Seperti kamis kemarin. Aku bangun siang sekali. Jam 13.00. Sebagai lelaki, tentu, bangun siang adalah sebuah kegagalan mencapai hidup. Atau setidaknya memicu pandangan orang-orang ke arah sana. Aku mandi, mengenakan pakaian dan mengecek telepon genggam. Tak ada apa-apa, selain pemberitahuan masa berlaku kartu sim akan segera habis. 

***

Aku berhenti di sebuah kafe di pinggir jalan. Beberapa kendaraan telah terparkir rapi. Kumasuki pintu, lalu mencari tempat paling pojok, tempat di mana aku tidak akan diperhatikan, namun bisa melihat seisi ruang ini. 

"Meja nomor 21 ya, mas," ucap seorang perempuan dengan setelan serba hitam, berkerudung putih itu. Ia wanita yang cantik, sebenarnya, jika lebih banyak tersenyum dan menyembulkan gigi gingsulnya.

Di meja itu aku membuka tas dan mengeluarkan telepon genggam, sebuah buku puisi, dan earphone, menyalakan lagu, lalu mulai berpura-pura membaca dalam hati. Aku selalu seperti itu. Mengeluarkan buku, namun hanya semata kamuflase. Kau tahu, sendirian dan tampak bingung di muka umum sungguh bukanlah hal yang baik. Mataku merayapi dinding, meja-meja lain, panggung, kasir dan pintu keluar-masuk. Sesekali juga mengintai langkah yang mengarah toilet. 

Seseorang mendekatiku, dengan nampan dan secangkir kopi di atasnya. Namun bukan perempuan yang tadi. Yang satu ini, tidak semanis ia, namun lebih ramah dan murah senyum. 

"Bawa saja gulanya, aku tidak menggunakannya," 
"Mas suka kopi pahit?"
"Tentu tidak,"
"Loh, terus?"
"Aku takut, jika kopi ini manis, nanti akan cepat habis,"

Ia pun tertawa, dan aku bingung. Apakah saat ini, kejujuran adalah juga lelucon? 

Aku kembali memegang buku, dan menegangkan otot mataku. Ke kiri, ke kanan. Sunyi. Meja dipenuhi pesanan dan cahaya kilat. Aku melihat mereka, orang-orang itu berpose, lalu sibuk mengabadikannya ke sebuah foto, tanpa sadar telah mematikan keadaan. Bukankah itu menyedihkan? Kau tahu, aku bukanlah seseorang yang lihai berkata-kata. Atau lebih tepatnya, tak gampang untukku melisankan kata-kata, apalagi membuatnya menjadi sebuah cerita. Itulah yang membuatku urung menemuimu. Tentu jika nantinya kita berkencan, kau juga akan seperti itu: merunyamkan sunyi, lalu mematikan aku. 

Maka biarlah. Biarkan aku tetap di sini. Melihatmu dari jauh, dan membayangkan pelbagai keadaan-kegiatan yang tak akan pernah kita jalani itu. Biarkan aku di sini, seperti aku membiarkan hatiku patah, hanya karena tak ingin dikalahkan oleh telepon genggammu itu.

Rabu, 09 Desember 2015

Beberapa Puisi di Indopos, 5 Desember 2015

Tukang Tato

Sambil kupahatkan daun-daun ke kulitmu, engkau berteriak
laik guntur mengulur kilat, jatuh ke ranah basah
yang kuning dan pernah kering

Silau oleh kilat itu, mataku mengedip lebih cepat
dari biasanya. Namun tetap, yang jarang terjadi
akan mati bila bersihadap dengan wajahmu
nan kugandrungi

Engkau membuka baju, menyerahkan sisanya untuk
kujejaki. Membelit tinta panas di kulit hingga burit
hingga engkau menjerit
merasa sakit

Jantungku bergidik seketika merasa pekik yang
kau lontar terlalu berderu membungkam ricik
gerimis, mencuri
hangat tubuhmu

Pekanbaru, 2014.


Mendung

Wajah zaman lindap. Dalam kelambu matahari langit mendengkur
di matamu yang menjatuhkan putik-putik
ada yang bersemayam. Seperti gelap. Atau mungkin rahasia
tentang asap. Membentang di kelapangan kota
hutan terbakar. Angin pengap berkelindan saat
penat berkarat di tubuh kita

Jika di atas langit masih ada langit, maka doa-doa tak ‘kan pernah sampai
dan dengan tujuan tak menentu, adakah yang menangkapnya?
Sebab, musim yang kelabu ini kerap mengusik tidurku
yang tak juga menambat apa pun.

Langit di sini, selalu hanya mendung
namun tak mampu menghujan
langit di sini, barangkali hanya bisa bersedih
tersebab tak pernah mampu menangis

Daun-daun gugur jatuh menyentuh tanah
berbincang mengenai kematian dan warna tubuhnya 
nyaris membakar mata yang memandang dosa 
sebagai matang doa-doa

Tapi doa, ke manakah akan dihaturkan 
jika setiap hari
tuhan semakin ramai di sini?

Pasa Ibuah, 2015


Semula Hujan

Jalanan berdebar meregang kisut jantungnya. Hujan baru mekar
Putik-putiknya menyasar ke sulur dadamu yang nganga
penuh suka duka

Aku dengar, jam berdetak pada detik ke 21
tapi tak ada jam di sini, selain arloji yang
mengunyah segala bahasa

“Mungkin itu suara jantungku, yang baru
kau pahami maknanya,”

Kafe-kafe berkaki seribu melipat jarak
tapi alangkah jauhnya kita, melepit
lengan sembari menarikan jari 
di layar gawai, yang piawai 
menyembunyikan tikai

langit-langit temaram, dan hatiku yang rawan
tiba-tiba saja disesaki alunan musik yang melantun
tanpa ampun, menggetarkan ruangan
yang lebih dulu merasa resah dari siapa pun

Sudah redakah hujan di matamu, atau bibirmu 
yang mengatup telah menjelmakan batang agam, mengalirkan
kesedihanku, mengairkan parit-parit, got, tanah, dan vas bunga
atau ia malah beringsut, memasuki sumur-sumur, menapaki bilur
di tubuh gamangku.

Tak lama hujan reda, aku menemukan bayanganmu berlari
meninggalkan kafe.

Payakumbuh, 2015

Minggu, 20 September 2015

Beberapa Puisi, di Riau Pos 20 September 2015

Gerimis

di antara gigil yang ganjil dan malam yang demam
awan lebam itu melahirkan isak kecil yang meriak
tumpah sebagai ludah yang mengucapkan banyak kecupan

yang rawan, barangkali kecemasan yang tak takluk jua
yang bersua tak berpeluk, meruncingkan jarum-jarum es terkutuk

meski bagimu gerimis adalah air mata yang mengaji ketika
malam-malam yang diam itu merendam dendam langit
yang beringas pada angka duabelas, gerimis adalah bukti
tuhan tak pernah tidur
ia hadir pada tiap helaan yang mengendur

terusik oleh yang tersuruk, kita melompati nasib
seakan paling tahu hal-ihwal gaib
padahal telah lama iman yang membusung di dada limbung dan raib

tapi apakah aku harus menyerah sekiranya takdir menggiring galau
menghentak ke dadaku yang balau
amsal pisau yang mengiris tipis kulit limau?

tentu tidak, aku tak perlu mengambil pusing sememangnya waktu
menjelma angkara—merunggas hajat

hanya sampai pada hatiku, riwayat tubuhmu yang tersirat di ribaanku mulai menyebat
serupa tumpahan gerimis nan melarat di punggungku yang amis,
yang tak kunjung menyurat sebagai ayat-ayat yang mungkin bisa kaubaca ketika menangis

lalu bacalah kembali ketika berbahagia. sebab hanya dengan itu aku bisa
menyentuhmu, pula mencecap perasan perasaan pada bibirmu yang kelu
dan misalkan setelahnya langit tak mewartakan apa-apa, maka biarkan matamu
yang muskil kuselami menakwilkan kematianku

Pekanbaru, 2015

Ziarah
Kepada Nurdiansyah Oemar

di marpoyan, sunyi meruapkan udara
yang muskil dihirup pohon-pohon bedaru
bangkai lokomotif rel-rel berkarat
mengerat masa lampau di ujung igau
dengan pisau asahan yang berkilau
yang kalau diacungkan membikin risau

“aku pernah membaca cerita orang sini,” katanya
“aku tak pernah mendengar angin bernyanyi,” kataku

tanah yang kemerahan pun dicecapnya yang jatuh cinta pada cermin
dalam diam kami menalikan ucapan dari sulur pikiran yang tersulut

tanah yang kemerahan, bekas luka itu seolah membaur
ketika gerimis baru reda, dan dipungut dengan tangannya
yang dingin, yang dipenuhi jejak masa silam

“tetapi, hari itu, entah hari apa
september yang lumer, agustus yang hangus
menghadiahkan kado berpita putih
kepada indonesia yang merdeka!
sepuluh ribu atau lebih
sampah itu dikubur dalam semak-semak
yang kerap terkesiap setiap jangkrik berkerik”

lalu kata-kata yang semula merdeka
seperti terkubur di liang bibir

Pekanbaru, 2015

Rabas

setelah hujan reda dan mendung menyingkir
apa yang hendak kau lakukan, jika genangan air
di jalan berliku belum jua mahir
menakwil masa lalu

daun-daun nan basah, berkulumun halimun di tubuhnya
angin berdesir menyejukkan tengkuk kanak-kanak
yang berkecipak di genangan air, mengalir
hingga ke inti benakmu

kanal-kanal membandang. tepat di belakangmu aku
merasa sedang membendung segala yang tak tertampung
gedung-gedung, hutan-hutan terbakar dan yang tak pernah
mampu dikandung rahim matamu

renyai baru usai 7 menit lalu. namun langit tetap sirah
dedaunan yang gugur seolah penanda bahwa, kehilangan
semestinya harus dirayakan

dan aku yang masih belum mahfum, mengapa hingga saat ini
kau masih memalingkan pandang pada dangkal kebimbangan

Pekanbaru, 2015

Ronda
Kepada Patra Hafiz

mari kuantar kau berkeliling, sebelum pulang
dan atau langit menjadi lebih pengap. aku ingin
kau tahu, bahwa dini hari yang asin adalah
cermin bagi kita yang terus dilumat kemunafikan

lalu biarkan dingin itu menggigit, lesap, ke pangkal
terdangkal—hingga ke bagian yang tak tersentuh
agar bisa kau rasakan, nyeri dan ngilu yang ambigu
meliarkan lidahnya kembali

seperti tubuh si jangkung pada tiap-tiap gang dan simpang
terkungkung oleh bunyi sunyi dan goresan parang

lolongan anjing, daun-daun dirontokkan angin
lampu-lampu yang tergantung berkelap-kelip
dengan langkah goyah kau ikuti aku melompati
genangan air, kenangan yang tercermin dari sana
memunggah hasrat yang tercemar dari sukma

“lihatlah, taring malam yang terbenam mulai meriap
mari tanggalkan jubah kebencian
dan tinggalkan dunia yang telanjang!”

derak kayu menuntut. aku menuntunmu memasuki
gerbang subuh yang menganga, penuh oleh doa

telah kusiapkan peti mati bagi hatimu yang pucat
jauh sebelum aku menangkap garis wajahmu
kesangsian yang menyembul kala gerimis sukar dijinakkan

Pekanbaru, 2015


Bunga

hingga kini, bunga-bunga yang tertata rapi
pada rak itu tak jua mengerti:
masa silam, atau masa depan yang membawanya pergi?

Pekanbaru, 2015


Doa

aku ingin tuli saja, tuhan
mendengar hanya membikin
dadaku giat membatin
bibirku mencibir rutin

tuhan, dengarlah ini doa
atau kita bernasib sama?

Pekanbaru, 2015